Bagi yang percaya, Tempat Pemakaman Umum (TPU) Ngujang, Tulungagung, dikenal sebagai tempat pesugihan. Kabarnya, ratusan monyet di lokasi tersebut merupakan jelmaan anak dari orang yang mencari pesugihan. Mereka jadi tumbal keserakahan orang tuanya.
—
Sekilas memang tidak ada yang istimewa di TPU Ngujang. Jawa Pos mengunjungi lokasi itu di sebuah siang pada Januari lalu. Tampak beberapa orang beraktivitas di sana. Kedatangan kami disambut seorang perempuan. Seakan tahu, dia pun menawarkan diri untuk memanggil juru kunci. ’’Mau ketemu juru kunci ya, Mas?’’ ucapnya.
Makam Ngujang memang jarang sepi. Pasti ada satu atau dua orang yang masuk. Bahkan, sisi barat dijadikan tempat nongkrong. Maklum, suasananya sejuk. Banyak pohon rindang. Beberapa orang tak jengah meskipun ratusan nisan makam berada di sana.
Ada dua bangunan yang cukup menonjol. Yakni, makam dan tempat punden yang dikeramatkan. Dua bangunan itu tidak memiliki hubungan. ’’Itu makam biasa warga sekitar sini, hanya tempatnya yang dibuat beda,’’ kata Ribut Katenan, juru kunci makam Ngujang.
Menurut Ribut, TPU Ngujang sangat dikenal sebagai tempat pesugihan. Padahal tidak juga. Hanya, banyak pengunjung yang ngalap berkah di sana. Mereka pun datang dengan berbagai tujuan. Sebagian besar mencari kekayaan.
Bangunan punden kerap dimanfaatkan pengunjung untuk berdoa. Ruangannya tidak luas. Kurang lebih 3 x 4 meter. Seluruh temboknya berwarna hijau. Termasuk sehelai kain yang menutupi sebuah batu. Banyak cerita yang beredar di masyarakat. Konon, di balik tirai hijau itu, terdapat sumur tempat memasukkan foto orang yang akan ditumbalkan.
Namun, ketika Jawa Pos melihat langsung, hanya ada sebuah batu berbentuk persegi. Tak ada sumur apa pun. Ribut menjelaskan, punden itu milik Eyang Sentono Renggo. Salah seorang murid Sunan Kalijaga. Di situ ada gambar perempuan cantik yang memakai kemben berwarna hijau. Dia adalah Raden Ayu Siti Sundari, putri Eyang Sentono Renggo.
Dulu, batu tersebut pernah dipakai salat oleh Sunan Kalijaga. Nah, itulah yang menjadikan tempat tersebut dipakai ngalap berkah dengan berbagai cara. ’’Jadi, sumur itu hanyalah mitos,’’ tutur Ribut.
Eyang Sentono Renggo dulu mendirikan padepokan di sana untuk mensyiarkan agama Islam. Menurut Ribut, cerita itu adalah awal mula kenapa monyet berada di Ngujang. Suatu hari, Sunan Kalijaga berkunjung ke Ngujang untuk bertemu Eyang Sentono Renggo. Saat itu ada murid yang tingkah lakunya seperti kera.
Saat kajian berlangsung, murid tersebut justru naik ke pohon. Waktu itu, Sunan Kalijaga jengkel dan memberikan sabda. Entah bagaimana murid tersebut menjadi monyet. ’’Cerita ini sudah turun-temurun dari nenek saya,’’ terang Ribut.
Menurutnya, banyak cerita pesugihan yang beredar di Ngujang. Misalnya, ratusan monyet di sana adalah wujud anak dari orang yang mencari pesugihan. Dia menuturkan, ada sekitar 200 monyet di Ngujang. Mereka ini asli hewan, bukan jadi-jadian. Apalagi dihubungkan dengan pesugihan. ’’Itu tidak benar,’’ jelasnya.
Dia menampik ada dua jenis monyet di TPU Ngujang. Monyet yang bersifat gaib dan monyet sungguhan yang dilindungi makhluk gaib. Pernah ada orang yang membawa monyet dari TPU Ngujang. Tak lama, dalam perjalanan, orang tersebut meninggal akibat kecelakaan. ’’Ada balaknya,’’ papar juru kunci generasi ketiga itu.
Kabarnya, monyet tersebut juga sewaktu-waktu hilang. Padahal tidak. Ratusan monyet itu bergerombol. Kadang mereka di pohon sebelah utara kali. Kadang di bawah jembatan. Namun, kalau ada yang kasih makan, monyet itu langsung datang.
Menurut Ribut, area tersebut memang keramat. Bahkan bersejarah bagi persebaran agama Islam. Hanya saja banyak disalahgunakan. Hal itu membuat makhluk gaib campur tangan dan menggoda. Sebab, mereka berupaya mengubah akidah manusia. Tak sedikit orang yang terjerumus.
Karena itu, doa seharusnya dipanjatkan kepada Yang Mahakuasa. Soal kaya tidaknya harus diimbangi ikhtiar. Termasuk jodoh tidaknya dengan lokasi tersebut. Ribut menambahkan, sosok perempuan di dalam punden itu bukan Ratu Pantai Selatan. Meskipun warna hijau memang untuk menghormati Kanjeng Ratu Kidul.