”Dicari, guru akting buat oknum-oknum rumah sakit sejak tenaga administrasi, tenaga paramedis, sampai tenaga medis. Target, seluruh tenaga itu bisa akting pura-pura tersenyum semringah saat menghadapi pasien BPJS, seasli keramahan murni dan tulus mereka saat melayani pasien dengan biaya pribadi.”

PENGUMUMAN kuning kemerahan itu ditempel di pohon-pohon mirip reklame jasa sedot WC. Seribu sayang, hingga tenggat masa pencarian, tak satu pun guru akting meregistrasi dirinya.

Salahnya di mana?

Entah. Honor jelas tak bersalah. Jauh lebih gede dari rerata upah orang-orang Indonesia yang menyabung nyawa jadi asisten rumah tangga maupun penjaga kebun sawit di Malaysia. Sebelum upah mereka dipotong agen-agen di Malaysia maupun ditilap sendiri oleh tuan-tuan negeri jiran yang mempekerjakan mereka itu, honor pelatih akting tenaga rumah sakit di sini sudah jauh lebih tebal.

Sudah itu, jaminan hari tua-nya dibayarkan tanpa menunggu tibanya hari tua. JHT, yang bukan singkatan jahat ini, dibayar pada masa kanak-kanak. Sebab, sebaik-baik orang tua adalah orang yang masih memelihara jiwa kanak-kanak, yaitu jiwa tidak dendaman, jiwa cepat memaafkan, jiwa tak sedikit-sedikit lapor polisi.

Terus, salahnya di mana?

Yaitu, entahlah. ”Salahnya di istilah ’guru akting’ itu. Ini barangkali saja lho,” komen Sastro ke Jendro, istrinya. ”Istilah ’guru’ barangkali terasa kuno. Mereka malu mendaftarkan diri sebagai guru. Kalau pakai istilah coach…coach akting… Seperti coach Mourinho, coach Jock Stein, coach Alex Ferguson… Aku yakin akan banyak yang ndaftar.”

”Oooo…. Yes… Bisa jadi…bisa jadi, Mas Sastro. Bangsa kita kan memang bangsa yang minder. Lebih bangga pakai ’which is’ dibanding ’yang’. Correct me if I’m wrong…”

”No…no… Kamu tidak salah. Tapi kenapa mesti ke-Inggris-Inggris-an pakai ’yes’ dan ’CMIIW’…?”

”O iya ya…? Lha, tapi kamu sendiri juga ke-Londo-Londo-an. Itu tadi pakai ’No…no…” Jendro kasih isyarat suaminya agar berkaca di cermin sebelah.

”Heuheuheu…”

”Xixixixi….”

***

Burung betet Sastro-Jendro bersedih menyaksikan pasangan itu masih bisa-bisanya guyon di tengah situasi harga-harga naik dan antrean beli minyak goreng mengular panjang saat ini. Menurut burung yang kalau berkerumun ribut rebutan pakan itu, dalam situasi begini Sastro-Jendro sebaiknya puasa cengengesan.

”Segera ambil tindakan. Ubah kalimat di woro-woro itu. ’Guru akting’ jadikan ’coach akting’. Ini mendesak. Dalam sikon begini masyarakat jangan ditambah menggerutu lagi gegara semua urusan pakai syarat sudah bayar BPJS. Sebenarnya mereka oke-oke saja bayar BPJS, wong itu undang-undang, seperti KTP, kan semua urusan juga mesti pakai KTP. Tapi mbok pasien-pasien BPJS diterima sama ramahnya di rumah sakit seperti kalau mereka bayar pakai kantong pribadi. Yang penting pasien BPJS jangan merasa dianaktirikan.”

”Yang penting jangan ada diskriminasi pasien BPJS dan pasien pribadi?” Sastro-Jendro kompak.

”Yes, oh sori, ya… Eh, yes, oh maaf, ya… Nyanyi di kamar mandi harus pakai BPJS saja rakyat rela, kok, asal tidak ada diskriminasi antara pasien BPJS dan pasien pribadi.”

Sastro setuju. Jendro akur.

Semakin diamini, Betet semakin panjang pidatonya, ”Wong andai untuk ngupil saja rakyat harus lebih dulu bayar BPJS, rakyat oke asalkan sebagai pasien BPJS mereka tetap punya jaminan akan mendapatkan senyum di rumah sakit. Lagi pula…”

Betet terus melanjutkan pidatonya.

***

Betet terbang setelah tahu diri bahwa pidatonya tak ada lagi yang menggubrisnya. ”Kamu kan seorang pelatih akting?” tanyanya ke pemuda yang dihinggapi pundaknya. ”Kenapa tak terpanggil mendaftarkan diri jadi pelatih akting oknum-oknum rumah sakit agar bisa pura-pura ramah ke pasien BPJS? Ini panggilan mulia. JHT-nya juga tak dibayar menunggu kiamat.”

Pemuda tersebut menyeka keringat keningnya di hari terik. Dibersihkannya pula tahi betet di pundaknya. Tanggapannya ogah-ogahan, ”Orang sekarang ini, Tet, banyak yang sok tahu tapi juga sok tidak tahu.”

Melihat betet kebingungan, sang pemuda melanjutkan. ”Mereka sok tidak tahu bahwa lembaga-lembaga survei bisa saja keliru. Masak musim harga-harga naik dan beli minyak goreng antre seperti mengular begini hasil surveinya ’masyarakat semakin puas terhadap kerja government’.”

”Hmmm, sebentar. Kalau keliru kok semua lembaga suvei hasilnya begitu?”

”Ya keliru berjemaah kan juga bisa to…?”

”Mungkin malah betul berjemaah, Tet, tapi surveinya dilakukan sebelum harga-harga bernaikan…. Hmmm… Jadi, Tet, soal survei ini adalah soal yang masyarakat sok tidak tahu? Terus, yang masyarakat sok tahu yang soal mana?”

”Sok tahu bahwa kami tidak mendaftar jadi pelatih akting gegara istilah ’guru akting’, bukan ’coach akting’. Bukan itu. Kami tidak mendaftarkan sebab masih sibuk latihan antre. Bangsa ini adalah bangsa yang tidak bisa antre. Sekarang kami bersyukur dikasih kesempatan berlatih antre beli minyak goreng. Terima kasih, para pemimpin negeri.” (*)

SUJIWO TEJO

Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers

By admin