Melestarikan Bahasa Ibu Butuh Konsistensi dan Aksi Nyata
Sebagai sarana komunikasi, bahasa bukanlah ilmu yang akan lestari hanya dengan dipelajari. Tahapan terpenting dari bahasa adalah mempraktikkannya. Tanpa ada penuturnya, bahasa akan punah. Hal itu berlaku pula untuk bahasa daerah, bahasa ibu di Indonesia.
—
WONG Jawa ilang Jawane. Orang Jawa kehilangan ciri khas Jawa-nya. Adagium itu membuat gundah sekelompok anak muda alumni Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada (UGM) dan para pegiat sastra Jawa di Jogjakarta. Karena gundah saja tidak akan membuahkan apa-apa, mereka akhirnya bergerak. Melalui Jawacana, mereka memopulerkan penggunaan bahasa Jawa, mengajarkan kembali aksara Jawa, dan menerbitkan media dalam bahasa Jawa.
Salah satu gebrakan Jawacana adalah Kelas Hanacaraka. Menggandeng Sanggar Seni Kinanti Sekar, kelas pengajaran bahasa dan aksara Jawa digelar. ’’Dibuat sejak 2017,’’ kata Paksi Raras Alit, founder Jawacana sekaligus kepala sekolah Hanacaraka. Kelas-kelas berskala kecil itu awalnya tidak berbayar. Saat itu Jawacana masih menjajaki minat masyarakat terhadap ajakan mereka untuk melestarikan bahasa Jawa.
Di luar dugaan, minatnya sangat bagus. Terlalu bagus malah. Tapi, karena kelas-kelas itu gratis, para peserta cenderung tidak konsisten atau menyepelekan. Para penggawa Jawacana pun mengevaluasi program tersebut. Sebab, tujuan utama mereka ialah mengembalikan wong Jawa pada kejawaannya, bukan sekadar ikut-ikutan. Untuk menyaring mereka yang serius ingin belajar dan yang celelekan, kelas-kelas itu kemudian berbayar.
’’Peminatnya tetap membeludak. Tapi, karena pandemi ini, akhirnya bubrah semua,’’ lanjut Paksi saat berbincang dengan Jawa Pos kemarin (26/2).
Sebelum sempat redup karena pandemi, Kelas Hanacaraka sungguh meriah. Peminatnya banyak. Bahkan, ada kelas premium yang, tentu saja, mahal. Paksi dan teman-temannya di Jawacana berasumsi bahwa masyarakat, khususnya di Jawa, mulai jenuh dengan gempuran budaya asing. Karena itu, masyarakat menyambut baik upaya komunitas seperti Jawacana yang mengajak mereka mengenal dan mencintai kembali budaya lokal.
Selain Kelas Hanacaraka, Jawacana juga menggelar festival atau diskusi bahasa dan budaya Jawa. Tujuannya, memperkenalkan masyarakat pada dimensi budaya Jawa yang lebih luas. Bukan sekadar krama inggil dan aksara Jawa, tapi juga macapat, tembang Jawa, dan geguritan (puisi). ’’Nilai budaya itu tidak terhitung,’’ ujar pentolan Paksi Band itu.
Jawa Pos berkunjung ke Sanggar Seni Kinanti Sekar dan mengikuti Kelas Hanacaraka pada Selasa (22/2). Bayangan berada di kelas yang membosankan langsung sirna setelah bertemu Tio Cahya Sadewa. Pemuda 24 tahun tersebut adalah guru di kelas yang Jawa Pos ikuti sore itu.
Peserta Kelas Hanacaraka ternyata juga muda-muda. Bahkan lebih muda dari Tio. Kelasnya juga jauh dari kesan membosankan. Malah serasa berada di dalam kafe. ’’Jarang orang tua yang belajar,’’ tutur pengampu yang mengajar sejak 2020 itu. Agar fokus pada pelajaran, tiap kelas dibatasi maksimal sepuluh orang.
Mengalami sendiri Kelas Hanacaraka dengan pengajar yang energik dan kelas yang menyenangkan membuat Jawa Pos kerasan. Itulah mengapa Kelas Hanacaraka tak pernah sepi peminat. Belakangan, Kelas Hanacaraka yang sempat redup pada awal pandemi kembali padat jadwal. Sekarang, kelasnya kembali cuma-cuma. Karena Jawacana berkomitmen mempertahankan kelas kecil, para peminat harus rela antre.
Lalu, bagaimana dengan dukungan pemerintah setempat? ’’Kami belum mendapat bantuan pemerintah untuk menghidupkan budaya Jawa,’’ ucap Tio soal pendanaan. Memang sempat ada tawaran bagi Jawacana untuk masuk program pemerintah. Namun, sebagian penggawa Jawacana enggan. Sebab, birokrasinya ribet.
Jawacana khawatir waktu yang banyak tersita untuk mengurusi birokrasi justru akan menghambat pelaksanaan program. Karena itu, mereka berfokus pada agenda-agenda budaya dan kelas-kelas bahasa yang sudah berjalan. ’’Kami ini anak-anak muda, jadi agak susah kalau mengikuti birokrasi,’’ paparnya.