JawaPos.com – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memandang, dampak ketegangan antara Ukraina dan Rusia terhadap pasar finansial global termasuk Indonesia cenderung terbatas. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dalam operasi militer di Ukraina Timur memang direspons negatif oleh pasar. Apalagi, tindakan tersebut telah mendapat sanksi baru dari negara-negara barat terhadap bank-bank dan elit Rusia.
Chief Economist & Investment Strategist MAMI Katarina Setiawan mengatakan, harga minyak dan emas mengalami kenaikan. Hal ini terjadi karena Rusia merupakan salah satu pengekspor energi, produk pertanian, dan logam terbesar di dunia. Peningkatan ketegangan diprediksi akan memicu kenaikan harga energi dan berbagai komoditas serta nilai tukar dolar AS, yang tentunya akan berdampak pada peningkatan inflasi.
“Pasar langsung menunjukkan reaksi negatif. Indeks pasar keuangan di berbagai negara menunjukkan penurunan,” ujarnya dalam keterangannya, Sabtu (26/2).
Menurutnya, efek domino dari peningkatan inflasi di tengah tingginya angka inflasi global akhir-akhir yaitu memicu terjadinya kenaikan imbal hasil US Treasury yang akan berdampak terhadap pasar finansial dunia.
Katarina memaparkan, berdasarkan pengalaman sebelumnya, dampak perang terhadap perekonomian akan berbeda-beda. Beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya dampak perang terhadap pasar, yaitu negara yang terlibat dalam peperangan, skala dan periode perang, serta kondisi perekonomian negara-negara yang terlibat dan kawasan konflik.
Ia mencontohkan, perang dunia kedua (PD II) memiliki dampak yang jauh lebih besar dibandingkan perang di Siria pada 2017. Sebab, PD II melibatkan banyak negara dan berlangsung dalam periode yang panjang.
“Dibandingkan perang dunia kedua, ketegangan antara Rusia dengan Ukraina lebih terbatas dari segi wilayah, sehingga dampaknya diprediksi akan relatif terbatas,” ucapnya.
Biasanya, kata dia, dampak terhadap pasar finansial akan lebih singkat dibandingkan dampak terhadap perekonomian. “Ketika Korea Utara melakukan invasi ke Korea Selatan selama tiga tahun, sejak 25 Juni 1950 hingga 27 Juli 1953, dalam 23 hari pasar finansial global turun sampai ke titik terendah, namun kemudian kembali pulih dalam 82 hari,” jelasnya.
Selain itu, Katarina juga menjelaskan dampak ketegangan Rusia dan Ukraina terhadap Asia dan Indonesia. Kawasan Asia memiliki tingkat inflasi yang jauh lebih rendah dibandingkan Amerika Serikat. “Sehingga, inflasi masih akan tetap berada dalam kisaran yang terkendali di tengah dampak kenaikan harga energi dan berbagai komoditas,” katanya.
Perekonomian dan pasar finansial Indonesia akan relatif lebih terinsulasi dari dampak konflik Rusia dan Ukraina. Inflasi Indonesia yang masih relatif rendah, pada kisaran 2,18 persen, diperkirakan akan tetap terjaga di bawah 4 persen. Angka tersebut merupakan rentang atas acuan Bank Indonesia.
Selanjutnya, sebagai negara produsen dan eksportir energi, komoditas, dan logam terkemuka di dunia, Indonesia juga diuntungkan dari kenaikan harga produk-produk tersebut.
“Fundamental perekonomian Indonesia yang kuat, antara lain ditunjukkan dengan surplus neraca transaksi berjalan, peningkatan cadangan devisa, nilai tukar rupiah yang stabil, dan perbaikan pertumbuhan ekonomi, membuat Indonesia lebih resilien menghadapi goncangan jangka pendek dari ketegangan geopolitik ini,” jelas Katarina.
Kembali melihat sejarah, Katarina menambahkan, bank sentral biasanya menahan diri dari menaikkan suku bunga secara berlebihan selama periode perang, dan lebih memilih untuk mengendalikan inflasi dengan gabungan cara-cara lain.
The Fed akan tetap data-dependent dalam mengambil keputusan. Di tengah kondisi pasar yang fluktuatif, investor disarankan untuk melakukan diversifikasi portofolio pada produk-produk reksa dana yang dikelola secara aktif.
“Situasi masih sangat cair dan risiko geopolitik dapat mendominasi sentimen pasar dalam jangka pendek. Portofolio yang terdiversifikasi dan dikelola secara aktif dapat menjadi pilihan untuk melindungi investasi dari inflasi serta volatilitas yang tinggi yang dipicu ketegangan geopolitik dalam jangka pendek,” pungkasnya.