JawaPos.com – Sejumlah pasien kanker umumnya sudah mengalami stadium lanjut saat berobat ke dokter. Jika sudah divonis kanker, sebagian besar masih gagap literasi finansial pengobatan kanker. Bahkan mereka yang berduit, memilih berobat ke luar negeri.
Dalam webinar bersama Yayasan Kanker Indonesia (YKI) bersama dengan PT Merck Sharp & Dohme (MSD) Indonesia dan Nasional Re Indonesia, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Hematologi Onkologi Medik, dr. Ronald A. Hukom, SpPD-KHOM, MHSc, FINASIM mengatakan bahwa meski sudah ada layanan BPJS, namun masih ada data dari perusahaan asuransi kesehatan dan keprihatinan Kementerian Kesehatan yang menyebutkan bahwa pasien dari Indonesia menghabiskan Rp 161 triliun setiap tahun untuk berobat ke luar negeri.
Padahal, menurutnya, sarana kesehatan di Indonesia tak kalah dari luar negeri.
“Bila 3-5 persen dari dana berobat ke luar negeri itu digunakan untuk membangun beberapa pusat pengobatan kanker di dalam negeri, dengan standar internasional seperti di Amerika, Australia atau Singapura, maka kita bisa mencegah triliunan rupiah dibawa pergi keluar negeri,” tegas Ronald secara daring, Selasa (22/2).
Ia menjelaskan bahwa di Indonesia sudah lebih daripada mampu untuk membantu diagnosis maupun pengobatan pasien kanker. Selama pandemi Covid-19, banyak pasien Indonesia yang biasanya berobat ke luar negeri mengharuskan mereka untuk berobat di dalam negeri.
“Pandemi menyadarkan bahwa beberapa rumah sakit di Indonesia juga sudah mampu untuk menangani pengobatan kanker dengan baik, sehingga pada akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pengobatan seterusnya di Indonesia,” ungkap Ronald.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia, Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD-KHOM, FINASIM, FACP mengatakan, sebanyak 80 persen pasien kanker datang sudah pada stadium lanjut, sehingga presentase kesintasan menjadi lebih rendah. Hal ini juga berkaitan dengan kurangnya pengetahuan dan kesadaran untuk pencegahan dan deteksi dini kanker, serta kondisi kesenjangan perawatan kanker di Indonesia.
“Salah satunya diakibatkan oleh rendahnya literasi finansial untuk kesehatan yang menjadi hambatan sehingga pasien sulit mendapatkan akses terhadap perawatan kanker yang optimal,” jelas Aru.
Aru menjelaskan, saat ini terdapat batasan-batasan jaminan sosial untuk layanan perawatan kanker dimana tidak semua perawatan ataupun obat-obatan dijamin, dan kini masyarakat mulai menyadari kondisi tersebut, sehingga minat terhadap asuransi kesehatan swasta bertambah.
Ia juga menyoroti bahwa perusahaan asuransi perlu membantu meningkatkan pemahaman umum tentang kanker dan kesadaran akan pilihan pengobatan, termasuk di daerah terpencil dimana sikap terhadap pengobatan tradisional masih banyak ditemukan.
“Mengatasi kanker dan membangun kesadaran masyarakat berjalan beriringan,” katanya.