JawaPos.com – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah meluncurkan Kurikulum Merdeka. Adapun, kurikulum ini hadir untuk merespon permasalahan learning loss akibat pandemi Covid-19.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Said Hamid Hasan pun memberikan kritikannya atas Kurikulum Merdeka. Ia menyampaikan bahwa Kurikulum Merdeka ini bukan ide original dari dunia pendidikan Tanah Air.
“Ini juga bukan ide asli, ini diambil dari negara lain, yaitu Inggris,” terang Said Hamid dalam siaran Vox Populi Institute Indonesia, Selasa (22/2).
Dirinya juga menyoroti salah satu model pemberian materi pembelajaran lewat Kurikulum Merdeka. Menurutnya, pemberian materi secara bertahap akan sangat sulit diterapkan di Indonesia, mengingat belum siapnya SDM.
“Materinya lebih sulit karena kita tahu itu ada jenjang A sampai F. Inggris menamakannya Q stage, sama seperti itu. Apa bedanya ini. Argumentasi soal itu tidak jelas,” ucapnya.
Said pun meyakini bahwa apa yang diterapkan Inggris akan sangat sulit diberlakukan di Indonesia. Parahnya lagi, konsep ini diprediksi akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan.
“Dengan demikian saya yakin ini akan menimbulkan masalah nanti di lapangan, karena dengan itu akan ada dalam proses pembelajaran akan berbeda, dia menghendaki proses pembelajaran yang berbeda dan menghendaki kualitas penilaian yang berbeda. Dalam pedoman yang ada, itu tidak jelas bagaimana perubahan itu,” tutupnya.
Pada waktu yang berbeda, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Assesmen Pendidikan Anindito Aditomo menyampaikan bahwa memang benar Kurikulum Merdeka merupakan adopsi dari konsep pendidikan di negara lain.
“Kurikulum Merdeka disusun berdasarkan kajian terhadap praktik baik di banyak negara, termasuk Australia, Finlandia, Inggris, dan negara lainnya termasuk dari Indonesia sendiri,” jelasnya kepada JawaPos.com, Selasa (22/2).
Di antara prinsip yang digunakan untuk merancang Kurikulum Merdeka adalah pentingnya untuk fokus pada materi esensial, agar guru tidak terlalu terbebani untuk mengajar secara instan, dan memiliki waktu untuk menerapkan pembelajaran yang mendalam.
“Prinsip lainnya adalah fleksibilitas yang memungkinkan sekolah menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan secara lebih merdeka, sesuai konteks dan kebutuhan muridnya,” pungkasnya.