HERRY Wirawan, terdakwa kekerasan seksual terhadap 13 santriwati, divonis seumur hidup. Putusan majelis hakim tersebut berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang berupa hukuman mati. Selain itu, hakim membebankan restitusi kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) serta menyerahkan perawatan sembilan anak dari para anak korban kepada Pemprov Jawa Barat.

Seusai pembacaan vonis hakim, diskusi dan perbincangan publik diramaikan alasan hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup, bukan hukuman mati. Jika diperhatikan, sebagian besar fokus diskusi hanyalah tentang hukuman seberat-beratnya bagi pelaku. Hanya sedikit yang membahas proses pemulihan korban dari trauma. Korban masih menjadi poin kesekian dari suatu proses peradilan. Padahal, merekalah yang paling menderita. Sudah seharusnya keadilan bagi mereka menjadi perha-tian utama. Kemarin (21/2) JPU akhirnya mengajukan banding dengan pertimbangan bahwa hukuman seumur hidup tidak setimpal dengan penderitaan korban.

Undang-undang (UU) menuliskan restitusi atau ganti rugi sebagai beban terdakwa. Namun, majelis hakim berpendapat bahwa seseorang yang diganjar hukuman pidana mati atau pidana seumur hidup tidak dapat dijatuhi pidana lainnya sesuai pasal 67 KUHP. Sejauh ini UU masih belum mengatur kepada siapa restitusi dibebankan jika terpidana secara hukum berhalangan. Dalam vonisnya, majelis hakim membebankan restitusi yang seharusnya ditanggung Herry Wirawan kepada negara. Dalam hal ini Kemen PPPA.

Ganti kerugian korban mempunyai prinsip segera. Segera diberikan kepada korban sehingga dapat secepatnya membantu pemulihan (fisik dan mental) mereka untuk kembali seperti sediakala. Prinsip segera itu tidak akan bisa diakomodasi lewat putusan Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 15 Februari lalu. Pembayaran restitusi oleh negara (Kemen PPPA) akan makan waktu yang panjang. Terutama kaitannya dengan aturan penggunaan uang negara.

Penggunaan uang negara harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki instansi, dalam hal ini Kemen PPPA. Jika tidak sesuai, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa saja menyebutkan adanya indikasi pelanggaran terhadap perundang-undangan.

Kemen PPPA bisa saja mengubah anggaran. Tetapi, harus ada rekomendasi dari instansi-instansi berwenang yang menyebutkan bahwa Kemen PPPA bisa membayarkan restitusi. Setelah itu barulah anggaran diubah. Perubahan tersebut jelas butuh waktu. Setidaknya sampai dilaksanakannya perubahan APBN. Atau bisa jadi menunggu sampai tahun anggaran berikutnya.

Pembayaran restitusi yang bertentangan dengan prinsip segera pernah terjadi pada 2016, yakni dalam kasus Andro dan Nurdin, korban salah tangkap pembunuhan di Cipulir. Dalam putusan ganti rugi melalui mekanisme praperadilan, masing-masing korban berhak atas ganti rugi sebesar Rp 36 juta. Restitusinya ditanggung negara. Setelah melalui proses yang panjang, restitusi untuk Andro dan Nurdin baru dibayarkan pada 2018.

Restitusi untuk Korban Tindak Pidana

Restitusi merupakan ganti kerugian yang pembayarannya dibebankan kepada pelaku/terdakwa atau pihak ketiga. Jadi, tanggung jawab lebih dibebankan kepada si pelaku, bukan kepada institusi di mana si pelaku berada.

Upaya ganti rugi melalui mekanisme restitusi telah diatur dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Pengadilan HAM, UU Perlindungan Anak, serta UU Perlindungan Saksi dan Korban. Ada tiga tindak pidana yang secara khusus mengatur mengenai hak korban untuk mengajukan restitusi kepada pengadilan. Bahkan, ada pidana tambahan yang bisa dijatuhkan kepada pelaku jika gagal membayar restitusi. Mulai perampasan harta kekayaan untuk dilelang hingga hukuman penjara satu tahun.

UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur restitusi secara lebih luas. Di sana disebutkan, korban tindak pidana berhak atas restitusi atau ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan, serta penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

Dalam rilis mereka, ICJR dan IJRS menyampaikan bahwa taksiran nilai restitusi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sepanjang 2020 berada pada angka Rp 7 miliar. Namun, yang dikabulkan hanya sekitar Rp 1,3 miliar. Yang lebih memprihatinkan, pencapaian restitusi untuk korban malah kurang dari 10 persen dari keputusan pengadilan. Artinya, nilainya hanya pada kisaran Rp 101 juta.

Efektivitas restitusi melahirkan sejumlah catatan. Salah satunya adalah sulitnya merampas aset pelaku untuk pembayaran restitusi. Khusus terkait kasus kekerasan seksual, restitusi pun bisa jadi berdampak pada kondisi keuangan korban. Sebab, mayoritas pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban.

Victim Trust Fund sebagai Solusi

Merujuk pada laporan ICJR dan IJRS, diketahui realisasi restitusi sangatlah sulit meskipun sudah diatur dalam perundang-undangan. Padahal, pemulihan trauma korban kekerasan seksual bisa sangat lama. Tidak hanya menguras keuangan, tapi juga tenaga dan emosi korban beserta keluarganya. Apalagi, berdasar Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, korban tindak pidana kekerasan seksual tidak mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan dari BPJS.

Menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pemberian bantuan medis, psikologis, dan psikososial korban kepada LPSK juga tidak bijaksana. Itu akan memberatkan LPSK yang anggarannya terbatas. LPSK juga tidak bisa menjangkau semua daerah. Oleh karena itu, perlu ada solusi atau mekanisme yang lebih efektif dalam pemenuhan hak pemulihan korban tindak pidana, khususnya korban kekerasan seksual.

Salah satu solusi yang diusulkan didorong oleh LPSK adalah dibentuknya victim trust fund (dana bantuan korban). Cara itu sudah dipraktikkan di beberapa negara. Victim trust fund ini akan membantu meringankan beban keuangan negara dan daerah.

Dana bantuan korban itu diambilkan dari penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan denda dari tindak pidana. Dana itu kemudian dikelola untuk disalurkan kepada LPSK atau lembaga lainnya yang memberikan pendampingan terhadap korban. Mekanisme tersebut memberikan kepastian pemenuhan hak-hak korban tindak pidana, khususnya korban kekerasan seksual. Negara bisa saja memasukkan mekanisme victim trust fund itu ke dalam pembahasan RUU TPKS. Dengan demikian, peran negara dalam membantu pemulihan korban kekerasan seksual bisa lebih maksimal. (*)


*) FIRDIANSYAH, Staf bagian hukum pada Sekretariat Daerah Kota Tangerang Selatan, sebelumnya bertugas di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)

By admin