JawaPos.com – Seharusnya, Minggu (20/2) latihan perang gabungan Rusia-Belarus berakhir. Namun, kedua pihak memilih memperpanjangnya. Menteri Pertahanan Belarus Victor Khrenin beralasan, keputusan itu dibuat karena terjadi peningkatan aktivitas militer di perbatasan negaranya dan Rusia serta eskalasi pertempuran di Donbas, Ukraina.
’’Presiden Belarus dan Rusia memutuskan untuk melanjutkan inspeksi kesiapan pasukan dua negara,’’ tegas Khrenin seperti dikutip Deutsche Welle. Pasukan di Belarus itu dianggap sebagai salah satu elemen ancaman terhadap Ukraina.
Saat ini ada sekitar 130 ribu pasukan Rusia yang mengepung Ukraina dari 3 wilayah. Yaitu, Krimea, Belarus, dan hampir seluruh ruas perbatasan Rusia–Ukraina. Jika dihitung dengan pemberontak Ukraina pro-Rusia, jumlahnya mencapai 169 ribu–190 ribu orang. Versi Amerika Serikat, sekitar 40–50 persen pasukan Rusia ada di perbatasan Ukraina dan mereka semua dalam posisi siap menyerang.
Situasi yang kian panas menunjukkan bahwa negosiasi yang berlangsung sepekan terakhir tidak berjalan mulus. Kementerian Luar Negeri Belanda menyatakan bahwa pihaknya telah memindahkan kedutaan dari Kiev ke Lviv yang berbatasan dengan Polandia. Belanda menyusul langkah beberapa negara lain.
’’Karena masalah keamanan, kami memutuskan memindahkan aktivitas kedutaan ke Lviv,’’ bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Belanda seperti dikutip The Guardian. Mereka juga meminta penduduknya untuk meninggalkan Ukraina secepatnya.
Sabtu (19/2) unit nuklir strategis Rusia menggelar latihan yang diawasi langsung oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. Itu kian membuat banyak pihak ketir-ketir. Di hari yang sama, pertempuran skala kecil mulai terjadi di wilayah garis depan yang dikuasai pemberontak, yakni Donetsk dan Luhansk. Dua tentara Ukraina dilaporkan tewas. Sehari sebelumnya, mereka mengevakuasi penduduk sipil ke wilayah Rusia dengan menakut-nakuti bahwa pasukan Ukraina bakal menyerang. Aliran penduduk yang mengungsi itu masih terjadi.
Ukraina, di pihak lain, menolak menyerang balik. Jika Kiev menyerang, itu bisa jadi awal untuk memicu perang. Kementerian Pertahanan Ukraina mencatat ada 122 pelanggaran yang dilakukan pemberontak pada Sabtu nahas itu. Termasuk 108 pelanggaran terkait dengan larangan senjata yang tertera di kesepakatan Minsk. Para pemberontak yang diyakini dipersenjatai Rusia itu telah menembakkan artileri dan jatuh di dekat permukiman penduduk.
’’Dengan melakukan (provokasi) itu, musuh mencoba memaksa unit pasukan bersenjata Ukraina untuk menembak balik, lalu menuduh pasukan kami menembak penduduk sipil,’’ bunyi pernyataan Kementerian Pertahanan Ukraina.
Kesepakatan Minsk adalah gencatan senjata antara pasukan Ukraina dan pemberotak pro-Rusia 2014 lalu. Isinya melarang senjata berat di dekat garis kontak antara kedua pihak.
Pada 2014, ketika terjadi pertempuran di wilayah tersebut, pasukan Rusia turun membantu para pemberontak. Tentu tanpa memakai atribut militer Rusia. Bantuan besar-besaran itu berujung pencaplokan Krimea oleh Negeri Beruang Merah.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menyerukan agar sanksi untuk Rusia dijatuhkan sekarang. Tidak perlu menunggu Moskow menyerang Kiev. Menurut dia, struktur keamanan di dunia ini rapuh dan sudah usang. Tak ada gunanya sanksi ke Rusia ketika Ukraina sudah luluh lantak karena invasi atau salah satu wilayahnya kembali dikuasai. ’’Perlu ada tindakan. Ini bukan tentang perang di Ukraina, tapi perang di Eropa,’’ tegasnya.
Rusia memang bisa menyerang kapan saja. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyatakan bahwa banyak bukti yang menunjukkan Rusia berencana membuat perang terbesar di Eropa setelah Perang Dingin 1945. Intelijen Inggris memperkirakan bahwa Rusia berencana meluncurkan serangan dengan cara mengepung Kiev. ’’Presiden Putin mungkin tidak berpikir logis tentang ini dan tak melihat bencana di depan,’’ terangnya.