JawaPos.com-Sebagai pelatih ganda putri Indonesia, ada hal yang selalu diperhatikan oleh Eng Hian dalam menangani anak asuhnya. Salah satunya dengan memperhatikan siklus haid para pemainnya.
Sebab, dia tahu betul hal itu bisa memengaruhi performa Greysia Polii/Apriyani Rahayu di lapangan. Dengan pendekatan yang tepat, Eng Hian bisa memberikan porsi dan metode latihan yang tepat pula.
Sebenarnya yang dialami Greysia/Apriyani itu adalah situasi yang juga dialami atlet-atlet perempuan lainnya. Dalam olahraga, tantangan atlet perempuan lebih besar.
Mereka mengalami siklus biologis yang tidak sama dengan laki-laki. Para atlet perempuan itu bisa mengalami haid, kehamilan, melahirkan, dan menyusui. Kondisi tersebut sangat memengaruhi fisik dan mental yang diperlukan untuk menunjang performa mereka di lapangan.
Kondisi yang tidak sama dengan atlet laki-laki. Ketika atlet pria memutuskan menikah dan mempunyai anak, prestasi dan performa mereka bisa berjalan berdampingan.
Mereka tidak perlu memikirkan perubahan fisik dan mental saat mengalami siklus biologisnya. Tentunya, mereka tidak mengalami haid, yang kondisinya kadang menyakitkan dan bisa pula memengaruhi perubahan emosi seseorang.
Tetapi, di tengah kondisi-kondisi tersebut, peran atlet-atlet perempuan begitu luar biasa. Mereka berhasil mengambil peran penting dalam sejarah olahraga Indonesia.
Perlu dicatat, peraih medali Olimpiade pertama Indonesia adalah Lilies Handayani, Kusuma Wardhani, dan Nurfitriyana Saiman atau dikenal dengan julukan Tiga Srikandi (perak Olimpiade Seoul 1988).
Peraih emas Olimpiade pertama Indonesia (dan bulu tangkis) adalah Susy Susanti (Olimpiade Barcelona 1992). Peraih medali pertama angkat besi Indonesia adalah Raema Lisa Rumbewas, Sri Indriyani, dan Winarni (1 perak dan 2 perunggu Olimpiade Sydney 2000).
Sebelum Eko Yuli Irawan melampaui raihan itu pada Olimpiade Tokyo 2020, Lisa tercatat sebagai lifter Indonesia paling sukses selama dua dekade.
Lifter asal Papua itu mengoleksi dua perak dan satu perunggu dalam tiga Olimpiade beruntun. Kemudian, pada Olimpiade Tokyo 2020, Windy Cantika Aisah membuka capaian dengan perunggu.
Ditutup dengan Greysia/Apriyani yang meneruskan tradisi emas. Mereka adalah gambaran perempuan-perempuan tangguh yang bergelut di dunia olahraga yang dinilai sangat maskulin. Peran mereka tidak bisa diremehkan, apalagi dilupakan.
Kita sebagai manusia pasti memiliki impian. Untuk mewujudkan impian itu, pasti sulit dan penuh tantangan. Tetapi, bagi perempuan, sekadar mempertahankan impian itu saja sudah sulit.
Para atlet perempuan itu berlatih dan memiliki tanggung jawab prestasi yang sama dengan atlet laki-laki. Tapi, untuk mencapai titik yang sama, atlet perempuan harus melewati kesulitan lebih besar.
Selain persaingan dengan lawan-lawannya, ada faktor dari dalam diri mereka (yang tidak sama dengan laki-laki). Ditambah faktor lain di luar kuasa mereka, yaitu sistem patriarki.
Kondisi di mana peran domestik masih dibebankan kepada perempuan. Mereka masih dibatasi oleh standar ketetapan sosial tertentu. Para atlet perempuan ini dibatasi dan diingatkan dengan ’’kodrat’’ mereka sebagai perempuan.
Ketika perempuan bermimpi tinggi, mereka dihadapkan pada pola dan sistem sosial soal; bagaimana mereka harus menikah, kenapa tak memiliki anak, bagaimana mereka harus berpenampilan, apa yang seharusnya mereka lakukan, dan kenapa harus mimpi tinggi-tinggi toh ujungnya nanti hanya mengurus urusan ’’domestik’’ semata.
Kondisi tersebut secara tidak langsung memengaruhi mental para atlet perempuan. Kadang mereka mengalami dilema antara prestasi, karier, dan keluarga. Kadang merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi standar tersebut.
Sistem sosial ini juga ikut andil membatasi mimpi-mimpi mereka mengibarkan Merah Putih dan mengumandangkan Indonesia Raya di podium tertinggi. Sistem yang membuat mereka meragukan impian dan kemampuan sendiri.
Kita tentu tetap menunggu dan berharap atlet-atlet perempuan lain melampaui dan mendobrak sistem tersebut. Menembus batas demi mencapai mimpi-mimpi mereka. Sebagaimana pernyataan Greysia yang berhasil meraih medali emas setelah berpartisipasi dalam tiga edisi Olimpiade.
’’Saya rasa Olimpiade London (2012) memberi saya pelajaran untuk tidak pernah menyerah pada impian. Dan saya tahu saya tidak hanya mengatakannya, saya juga mengamalkannya setiap hari,’’ kata Greysia setelah memastikan diri tampil di final Olimpiade Tokyo 2020.
Bersama Apriyani, mereka akhirnya berhasil meneruskan tradisi emas Indonesia dalam Olimpiade. Menjadi ganda putri pertama Indonesia yang menyumbang medali. Melengkapi raihan emas bulu tangkis Indonesia dari semua sektor.
Mereka dari sektor putri, sektor yang selama belasan tahun tidak diunggulkan dan dirasa sulit untuk bersinar. Tetapi, Greysia, Apriyani, dan para atlet perempuan yang lain sudah membuktikan bahwa perempuan harus berani bermimpi terlebih dahulu.
Bahwa mimpi itu akan membawa kita tetap hidup dengan tujuan untuk diraih. Perempuan, mereka bisa menjadi apa pun dan melakukan apa pun yang mereka inginkan. Dan saya akan senang hati menulis untuk mengabadikan kisah-kisah mereka.
Ragil Putri Irmalia
Wartawan Jawa Pos