JawaPos.com – Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengomentari permintaan bebas oleh mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara dalam kasus dugaan suap bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun anggaran 2020. Fickar menilai, permintaan bebas Juliari yang disampaikan saat nota pembelaan merupakan hal yang tak masuk akal.
“Itu permintaan yang lucu, karena meminta bebas jika perbuatan yang didakwakan tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan. Tetapi jika terbukti maka seharusnya jabatan sebagai menteri menjadi alasan pemberat,” kata Fickar kepada JawaPos.com, Rabu (11/8).
Pegiat antikorupsi itu menuturkan, jika ada dugaan korupsi dalam pengadaan bansos, hukuman Juliari Batubara bisa lebih diperberat sebagaimana dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Tetapi saat ini, pasal yang ditutut kepada Juliari merupakan dugaan suap Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. “Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, korupsi yang dilakukan dalam keadaan pandemi Covid-19 sebagai bencana alam nasional,” ujar Fickar.
Meski demikian, Fickar menegaskan Juliari bisa dihukum berat karena kesalahannya dilakukan saat negara dalam keadaan bahaya yakni pandemi Covid-19 yang merupakan bencana nasional. “Pemberat yang lain adalah negara dalam keadaan bahaya dan krisis ekonomi,” papar Fickar
Oleh karena itu, Fickar menegaskan tidak ada alasan untuk melepaskan Juliari Batubara dari segala dakwaan Jaksa KPK. ’’Karena Juliari Batubara bukan anak kecil, bukan orang gila, belum kadaluarsa tipikornya, tidak terpaksa, korupsi bukan perintah atasan atau bukan perintah UU. Jadi terbuktinya perbuatan korupsi Juliari Batubara tidak ada alasan baik untuk dibebaskan maupun untuk dilepaskan,” cetus Fickar.
Dalam sidang pembacaan nota pembelaan pada Senin (9/8) di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Juliari Peter Batubara meminta majelis hakim bisa membebaskan dirinya, dari segala dakwaan Jaksa KPK. Juliari menyebut, nasibnya yang terjerat dalam perkara dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19, kini bergantung pada majelis hakim.
“Permohonan saya, permohonan istri saya, permohonan kedua anak saya yang masih kecil-kecil, serta permohonan keluarga besar saya, pada majelis hakim yang mulia. Akhirilah penderitaan kami ini dengan membebaskan saya dari segala dakwaan,” ujar Juliari saat membacakan nota pembelaan.
Politikus PDI Perjuangan ini mengakui kesalahannya, karena terjerat dalam kasus dugaan suap pengadaan bansos penanganan Covid-19. Dia menyebut, selama terjerat perkara rasuah ini dirinya telah menyusahkan banyak pihak.
Juliari lantas menyampaikan permohonan maaf kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, perkara rasuah pengadaan bansos Covid-19 telah menyita banyak waktu Jokowi, di tengah pandemi Covid-19 yang menerpa Indonesia. “Perkara ini tentu membuat perhatian bapak presiden sempat tersita dan terganggu. Semoga Tuhan yang maha esa selalu melindungi bapak presiden dan keluarga,” ujar Juliari.
Dia juga tak lupa menyampaikan permohonan maaf kepada Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Dia menyebut, sejak perkara ini muncul berbagai hujatan banyak menerpan PDI Perjuangan.
“Kepada yang terhormat ibu Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan beserta jajaran DPP PDI Perjuangan, dimana sejak tahun 2010 saya dipercaya sebagai pengurus DPP PDI Perjuangan. Saya harus menyampaikan permohonan maaf secara tulus dan penuh penyesalan. Saya sadar bahwa sejak perkara ini muncul, badai hujatan dan cacian datang silih berganti ditujukan kepada PDIP,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, mantan Mensos Juliari Peter Batubara telah dituntut hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Juliari Batubara diyakini terbukti menerima suap Rp 32,482 miliar dari perusahaan penyedia bansos sembako Covid-19 di wilayah Jabodetabek.
Selain pidana badan, Juliari juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 14.597.450.000. Apabila tidak dibayarkan, maka diganti dengan hukuman dua tahun penjara.
Politikus PDI Perjuangan itu juga dituntut agar dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun. Pidana ini dijalankan setelah Juliari selesai menjalani pidana pokok. Juliari sendiri diyakini melanggar Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. (*)