JawaPos.com – Singapura memberlakukan aturan ketat bagi mereka yang belum divaksinasi Covid-19. Salah satunya ketika makan di restoran. Mereka yang sudah divaksinasi boleh makan bersama sebanyak 5 orang, sementara yang belum divaksinasi harus berada di luar restoran dan hanya boleh makan berdua. Situasi ini membuat orang yang tak divaksinasi, atau belun divaksinasi dua dosis, atau mereka yang tak bersedia divaksin, merasa didiskriminasi.
Beberapa orang yang telah memilih untuk tidak divaksinasi Covid-19 merasa peraturan baru membatasi aktivitas sosial mereka. Dan, bagi mereka yang tidak dapat disuntik vaksin karena alasan medis, berharap pembatasan tidak akan berlangsung terlalu lama atau mereka dapat diberikan beberapa kelonggaran.
Mulai Selasa (10/8), orang-orang di Singapura yang telah divaksinasi penuh bisa makan di restoran dan berkumpul dalam kelompok hingga 5 orang, atau mengambil bagian dalam kegiatan sosial lain yang berisiko tinggi. Ini seperti olahraga atau acara massal.
“Saya sedih. Saya sudah divaksin dosis pertama, namun saat dosis kedua saya mengalami efek samping berat. Maka saya tak bisa divaksin dosis kedua. Jadi harus menunggu vaksin selain metode mRNA,” kata warga Singapura Siti Hamzah.
Saat berkumpul dengan keluarga dan teman untuk makan, Siti dan orang lain yang tidak divaksinasi merasa tersisih atau dikucilkan. Bahkan di pusat jajanan dan kedai kopi, terlepas dari apakah seseorang divaksinasi atau tidak, hanya dua orang yang boleh makan di luar.
Untuk mematuhi peraturan, pusat bisnis memeriksa status vaksinasi pelanggan mereka dengan meminta untuk membuka aplikasi seluler atau token TraceTogether terhadap aplikasi SafeEntry (Bisnis). Aturan baru ini mirip dengan yang ada di beberapa negara dan kota lain di seluruh dunia, yang memiliki batasan berbeda untuk orang yang diinokulasi terhadap Covid-19 dan mereka yang tidak.
Bagi sebagian orang yang telah memutuskan untuk tidak mendapatkan vaksin Covid-19, atau masih ragu untuk disuntik, mereka merasa aturan baru itu diskriminatif. Perasaan yang mereka dapatkan adalah aturan itu tidak adil dan membuat mereka dikucilkan dari kegiatan sosial.
Mereka mencatat bahwa pada Desember tahun lalu, ketika Pemerintah pertama kali meluncurkan latihan vaksinasi nasional, gugus tugas Covid-19 mengatakan tidak akan memaksa orang untuk mengambil vaksin dan akan menghormati pilihan masyarakat. Seorang pria berusia 65 tahun, yang menolak menyebutkan nama dan pekerjaannya juga merasa didiskriminasi.
“Mengapa membeda-bedakan antara yang divaksinasi dan yang tidak divaksinasi ketika tidak ada perbedaan dalam hal siapa yang dapat menyebarkan virus. Ini murni diskriminasi,” katanya.
Seorang ibu rumah tangga, Loh, 41, masih ragu untuk mendapatkan vaksin karena pengalaman buruk dengan obat-obatan farmasi di masa lalu serta kondisi medis dan alergi yang sudah ada sebelumnya.
“Saya tidak menentang vaksin. (Beberapa) orang telah mengambil vaksin sendiri. Cerita setiap orang berbeda. Kita tidak boleh mendiskriminasikan orang yang belum pernah menggunakan vaksin,” kata Loh.
Sementara itu, seorang pejabat administrator eksekutif, Tan Yi Han, 35, berharap akan ada pendekatan yang lebih inklusif yang mempertimbangkan pandangan dan pertimbangan yang berbeda tentang kesehatan dan keselamatan pribadi. Dia dan keluarganya merasa bahwa meningkatkan sistem kekebalan tubuh mereka sendiri adalah pertahanan terbaik karena kebanyakan orang yang terinfeksi di Singapura tidak memiliki gejala atau gejala ringan.