JawaPos.com-Pada usia 34 tahun, Kevin Cordon mencatat sejarah sangat besar di Olimpiade Tokyo 2020. Cordon bukan cuma menggoreskan rekor hebat bagi bulu tangkis Guatemala, tetapi juga untuk benua Amerika.

Sebab, sejak bulu tangkis kali pertama dipertandingkan secara resmi pada Barcelona 1992, baru Cordon, pemain dari benua Amerika yang mampu menembus semifinal Olimpiade.

Bahkan, sebelum fenomena Cordon, belum pernah ada satupun tunggal putra dari benua Amerika yang menjejak perempat final Olimpiade.

Kesuksesan Cordon, berkelindan sangat erat dengan kehadiran pelatih asal Indonesia, Muamar Qadafi. Dalam lima tahun terakhir, pelatih kelahiran Solo tersebut, bekerja sangat keras untuk meningkatkan level permainan Cordon. Hingga, puncaknya, Cordon mencapai prestasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya: menjejak semifinal Olimpiade.

Kevin Cordon merayakan keberhasilannya menembus perempat final Olimpiade Tokyo 2020 bersama Muamar Qadafi. (Instagram/Kevin Cordon)

Qadafi memiliki pengalaman luar biasa di benua Amerika. Sejak 2005, Qadafi berkelana melatih tim nasional Peru, Meksiko, Guatemala, dan sempat tiga bulan membantu timnas Ekuador.

Kepada Wartawan Jawa Pos Ainur Rohman, Qadafi bercerita tentang pengalamannya melatih di luar negeri, perspektif tentang bulu tangkis saat ini, dan kesuksesan Cordon pada Tokyo 2020.

Kevin Cordon mencatat sejarah hebat sebagai tunggal putra pertama dari benua Amerika yang menembus semifinal Olimpiade. Mas Dafi bisa cerita bagaimana respons publik Guatemala?

Wah, mereka senang sekali, mereka bangga, sangat kaget. Orang federasi Pan Am (Pan American, Red) sampai kontak saya. Kebetulan saya kenal manajernya. Dia adalah teman baik saya. Mereka mengucapkan terima kasih dan selamat. Sebab sebelum Kevin ini, tidak pernah ada tunggal putra mereka yang menembus 16 besar Olimpiade.

Alhamdulillah tahun ini ada yang masuk semifinal. Ada bendera dari benua Amerika yang berkibar di arena.

Bagi saya, momen krusial Cordon adalah ketika dia mengalahkan tunggal nomor sembilan dunia Ng Ka Long Angus di fase grup. Tidak ada yang menyangka Cordon bisa mengalahkan dia.

Sebelumnya, Cordon memang sangat diragukan. Tapi ya, sudah menjadi kebiasaan kalau kami diragukan. Sebab di Guatemala bulu tangkis belum populer. Fasilitas kurang, persiapan juga minimal, dan sebagainya.

Ketika drawing, Kevin satu grup dengan Ng Ka Long. Sebelumnya, Ng Ka Long ini pemain delapan besar dunia. Apalagi tahun ini dia bagus sekali, bisa mencapai final di Thailand Open. Berat juga untuk menghadapinya. Lha kok, game pertama menang. Saya bilang, Kevin kamu bisa melewatinya.

Saat melawan pemain Belanda Mark Caljouw di 16 besar, Cordon sempat kehilangan game kedua dengan skor telak. Tapi akhirnya bisa menang. Apa yang terjadi?

Jadi setelah kemenangan lawan Ng Ka Long itu, saya berbicara kepada Kevin bahwa kita ada peluang melaju jauh. Kevin pernah sekali melawan Mark Caljouw USA Open 2017. Waktu itu, Kevin kalah dalam rubber game.

Mereka berada dalam level yang sama. Memang Kevin sempat kerepotan. Ada ketegangan dalam diri Kevin. Tetapi lalu kami cepat analisis. Di game kedua, Kevin banyak melakukan kesalahan. Saya bilang, lepas saja jangan dipaksa. Karena sudah tertinggal jauh, kalau maksa juga belum tentu menang (Cordon kehilangan game kedua dengan skor 3-21).

Di game ketiga kami ngadu lagi dan akhirnya menang. Dalam level-level seperti ini, kesalahan-kesalahan sedikit saja bisa sangat berbahaya.

Alhamdulillah Kevin bisa menang dan lolos ke perempat final. Saat kami tahu Kento Momota kalah (melawan pemain Korea Selatan Heo Kwang-hee, Red) saya bilang kepada Kevin, wah ini ada jalan. Ternyata Kevin bisa menang lawan Heo dan lolos ke semifinal.

Sekarang kita mundur agak jauh. Mas Dafi awal mengenal Cordon sejak kapan?

Sekitar tahun 2005 atau 2006. Waktu itu, saya masih melatih di Peru. Saya diajak ke Peru oleh dua teman saya dari Indonesia. Saat itu, nggak tahu sedang ada program apa, federasi Guatemala mengirimkan Kevin untuk berlatih di Peru selama dua atau tiga bulan.

Saat itu, Kevin masih berumur 19 tahun. Saya lalu bicara ke Kevin bahwa dia punya potensi besar. Dia ada talent. Tinggal nanti bagaimana program latihannya. Saya bilang kalau dia tetap di Guatemala, yang tidak ada ini, tidak ada itu, maka talent itu bisa hilang.

Kevin ini punya potensi besar. Saya bilang ‘Kamu harus cari ini dan cari itu.’ Saya kemudian membantu dia dua sampai tiga bulan. Setelah itu, Kevin dapat beasiswa berupa training camp academy yang dibikin BWF di Saarbrucken, Jerman pada 2006 sampai 2008.

Kevin Cordon (kiri) bersama Muamar Qadafi setelah konferensi pers di Guatemala City. (Norvin Mendoza/Twitter)

Program itu memang dibikin BWF untuk negara-negara berkembang di dunia bulu tangkis supaya para pemainnya lolos ke Olimpiade. Seingat saya ada sembilan pemain waktu itu. Mereka dilatih oleh pelatih dari Korea Selatan. Kevin di sana selama dua tahun. Permainannya maju dan mulai bagus. Bahkan, dia bermain sampai babak kedua Olimpiade 2008.

Setelah itu, akademi itu tidak ada lagi. Karena tidak ada pelatih, dia menghubungi saya lagi. Saya melatih Kevin lagi pada 2009 sampai 2010. Setelah itu saya berhenti karena pengurusan visa di Guatemala ribet.

Kevin sempat lolos ke Olimpiade London 2012 dan mencapai babak 16 besar. Bahkan pada 2011, Kevin memberi kejutan di World Championships dengan lolos ke babak perempat final. Pada babak pertama, dia mengalahkan Chen Long.

Dalam pandangan Mas Dafi, yang istimewa dari Cordon ini apa?

Ada dua hal. Pertama kecepatan. Dia kurus dan tinggi. Kedua, smesnya keras. Dia punya talenta pada dua hal ini. Tetapi waktu saya pertama bertemu dia, dia belum kuat. Belum ada kejelasan permainan. Dia tidak stabil.

Tetapi, kalau talenta baik dipegang dengan baik, maka akan menghasilkan hal yang baik. Pada Olimpiade 2016 memang Kevin tidak maksimal. Dia overweight (Cordon cedera di babak penyisihan grup, Red).

Setelah itu, dia berada di persimpangan. Antara mau lanjut untuk mencoba sekali lagi di Olimpiade atau pensiun dan mencari pekerjaan normal. Ada perdebatan dalam dirinya. Tetapi dia akhirnya memutuskan untuk mencoba satu siklus lagi. Dia lantas menyampaikan keinginannya tersebut ke federasi Guatemala.

Dia bilang butuh pelatih dan akhirnya menghubungi saya, minta dibantu. Kevin bilang dia ingin berlaga di Central American Games 2018, Pan Am 2019, dan kualifikasi Olimpiade 2020. Saya tertarik sekali dengan target yang dia inginkan. Saya sebetulnya ada tawaran melatih ke tempat lain. Tetapi, ambisi Kevin membuat saya tertarik.

Kevin Cordon saat menjadi pembawa bendera Guatemala pada opening ceremony Olimpiade Beijing 2008. (William West/AFP)

Saya sendiri memang ingin berpartisipasi dan membawa satu atlet ke Olimpiade. Itu hal yang belum pernah saya raih. Impian semua atlet dan pelatih bulu tangkis saya kira memang menjadi bagian dari Olimpiade.

Selain itu, saya kenal dengan Kevin. Saya tahu apa yang dia inginkan dan saya percaya kepada dia. Kevin adalah pribadi yang bertanggung jawab. Dia sangat profesional dan saya ambil kepercayaan itu.

Oke, sekarang ke konteks yang lebih luas. Iklim bulu tangkis di Guatemala itu seperti apa?

Sistemnya hampir sama dengan Indonesia. Kalau di Indonesia, ada klub-klub besar seperti Djarum dan Jaya Raya. Timnasnya satu. Di Guatemala ada pemda-pemda, lalu ada timnasnya satu.

Timnas ini punya satu GOR yang berisi tiga lapangan. Ada asrama dan office kecil. Sistemnya sudah seperti kita ada timnas, tetapi di bawahnya pemda bukan ditopang oleh klub.

Muamar Qadafi (kiri) bersama anggota tim nasional bulu tangkis Guatemala. (COG Guatemala)

Namun di Guatemala, daerahnya tidak punya fasilitas. Sumber dayanya juga tidak memadai. Memang banyak kekurangan. Beda dengan capitalnya. Kalau dibandingkan di Meksiko misalnya, di sana tidak ada timnas.

Meksiko seperti USA. Pemain tersebar di pemda-pemda. Klub ada, tetapi tidak banyak. Kalau ingin ikut kejuaraan besar, mereka membuat kualifikasi sendiri secara internal untuk memilih atlet yang akan mewakili negara.

Dan dengan berbagai macam kekurangan itu, akhirnya Cordon bisa lolos ke Olimpiade…

Iya, itu kebanggaan juga. Akhirnya, bulu tangkis Guatemala melahirkan satu hal yang membanggakan. Memang sulit sekali untuk mempertahankan standar permainan Kevin. Sebab di Guatemala tidak ada lawan sparring yang selevel. Idealnya, satu timnas itu punya tiga atau empat pemain untuk menjaga kualitas latihan.

Di sisi lain, latihan juga sulit karena ada pandemi. Pemerintah Guatemala memutuskan menutup semua instalasi latihan. Kevin sendiri tinggal di daerah yang berjarak 30 kilometer dari capital. Tetapi kalau ke desanya, kita harus naik dulu selama 45 menit. Pemandangannya indah sekali kalau dari atas.

Kevin sangat butuh poin untuk lolos ke Olimpiade. Walaupun pandemi, dia nggak mau berhenti. Tetap berlatih. Tetapi latihannya lebih ke memperkuat fisik, karena memang selama pandemi tidak bisa latihan teknik.

Untung saja, di daerahnya yakni di La Union, Zacapa, tidak banyak kasus positif Covid. Kebetulan, di depan tempat tinggalnya ada gereja tua yang tidak dipakai.

Setelah melihat, kok ukuran dan ketinggiannya pas untuk dijadikan tempat latihan. Kevin lalu meminta izin kepada pendeta, pemerintah, dan kepolisian untuk memakai tempat itu sebagai lokasi latihan. Dan ternyata diizinkan. Federasi lalu pasang lapangan dan saya membantunya berlatih tiga bulan di sana.

Setelah Olimpiade ini, Mas Dafi lanjut berkarier di Guatemala?

Saya sendiri sudah menyampaikan ke federasi, sudah tidak akan lanjut. Setelah Olmpiade ini, saya mau kembali ke Indonesia. Kembali ke rumah saya di Jogja.

Kita mundur lagi ya Mas Dafi. Mengapa Mas Dafi bisa berkarier ke Peru?

Awalnya pada 2000 sampai 2005, saya menjadi asisten Ellen Angelina untuk melatih di PB Djarum. Pada 2005, ada dua pemain PB Djarum bernama Roy Purnomo dan Agustinus Hartono yang baru kembali dari Peru sebagai sparring partner.

Roy dan Agustinus dititipi pesan oleh pelatih nasional Peru dari Tiongkok. Intinya minta tolong dicarikan pelatih yang mau ke Peru. Lalu, Roy tanya ke saya. Saya akhirnya menerima tawaran itu dan saya mengundurkan diri dari Djarum.

Saya di Peru saya sekitar tiga tahun pada 2005 sampai 2008. Lalu ke Guatemala selama setahun pada 2009–2010, lalu balik ke Peru pada 2011–2012.

Saya juga sempat ke Meksiko pada 2013–2015. Dan sejak 2017 sampai sekarang di Guatemala. Saya pernah di Ekuador juga tetapi hanya membantu selama tiga bulan.

Pada 2005, di Indonesia sistemnya hanya pemain timnas yang boleh bertanding ke luar negeri. Belakangan sistem itu diubah, jadi klub-klub boleh kirim atlet ke luar.

Mungkin pertimbangannya adalah ketika sudah masuk ke pelatnas, mereka ini sudah punya pengalaman. Jadi, pelatnas tidak buang waktu dan investasi untuk experience mereka. Jadi, saat saya ditawari ke Peru itu, wah ini adalah kesempatan untuk membawa atlet bertanding ke luar.

Sebab sebelumnya saya hanya berkiprah di kompetisi lokal. Sebagai pelatih, saya tentu punya impian dan keinginan yang lebih. Yakni untuk meningkatkan wawasan, pengalaman, dan pengetahuan. Oke saya terima itu tawaran Peru.

Setelah di sana, saya ikut membawa Peru lolos ke Sudirman Cup 2007 di Skotlandia. Meskipun kami berada di level 5, tapi bisa partisipasi saja membuat saya bangga. Kalau di Indonesia, saya nggak akan bisa ke Skotlandia. Ini menjadi kebanggaan dan pengalaman baru bagi saya.

Meskipun bukan pemain, tetapi bisa partisipasi di sana, adalah suatu kebanggaan.

Banyak sekali pelatih Indonesia yang berkiprah di luar negeri. Pandangan Mas Dafi bagaimana?

Ya memang harus diakui, negara kita ini punya banyak pelatih berkualitas. Jadi, negara-negara luar banyak yang mau memakai jasa pelatih Indonesia. Terutama di negara yang bulu tangkisnya masih berkembang.

Jadi, para pelatih Indonesia diminta membantu atlet mereka untuk meraih prestasi dan mencapai target-target yang mereka tetapkan.

Dari semua pelatih Indonesia yang berkarier di luar negeri, Mas Dafi paling terinspirasi dari siapa? Atau mungkin memiliki sosok panutan?

Ada satu nama, Mas Agus Dwi Santoso (mantan pelatih Timnas Indonesia, Korea Selatan, Thailand, dan sekarang berkarier di India, Red).

Agus Dwi Santoso saat membesut timnas bulu tangkis Thailand. (dok Jawa Pos.com)

Saya sering berbicara dengan dia. Saya banyak mendapatkan masukan. Dan Mas Agus juga sering memberikan pengarahan dan memberikan ide.

Pengalaman dia sangat bermanfaat bagi saya. Terutama untuk meningkatkan kemampuan dan mencari ilmu yang lain. Mas Agus juga membantu saya mengembangan pengalaman.

Dan saya kira, pengalaman itu bermanfaat sekali. Dia benar-benar menginspirasi saya. Mas Agus adalah pelatih Hendrawan saat dia menjadi juara dunia dan meraih perak Olimpiade 2000. Pada 2019, tim saya pernah punya kesempatan latihan di Thailand. Tanpa sengaja, saya bertemu dengan Mas Agus. Itu berkesan sekali bagi saya.

Bagaimana Mas Dafi memandang bulu tangkis Indonesia di level dunia saat ini?

Sebetulnya tidak ada yang berubah secara signifikan. Sistem latihan, dari dulu sampai sekarang ya dilaksanakan dengan program yang hampir sama.

Tetapi ada juga yang baru seperti penerapan sports science. Tiongkok, misalnya. Dulu kan anti kepada pelatih asing. Sekarang mereka terbuka kepada pelatih asing (Pada 2019, Tiongkok untuk kali pertama merekrut dua pelatih asing yakni Kang Kyung-jin dan Yoo Yong-sung dari Korea Selatan, Red).

Sebenarnya, negara-negara besar bulu tangkis itu nyaris sama dan setara. Fasilitas di Indonesia, Tiongkok, Jepang, standarnya ya sama. Mungkin yang menentukan dalam pertandingan adalah hal-hal detail, hal-hal kecil. Ada hal kecil yang tidak tercapai di saat pertandingan.

Misalnya masalah mental dan keragu-raguan. Jadi, kita tidak usah berbicara masalah teknik. Karena semuanya, di level dunia, nyaris setara. Namun, ada hal-hal kecil yang kadang bisa mengganggu. Dan ini bisa terjadi, misalnya saat Kento Momota kalah pada fase grup Olimpiade Tokyo.

Dalam Olimpiade ada tekanan yang sangat besar. Dan Momota tidak bisa melewati tekanan ini. Kalau ngomong kualitas, apa yang kurang dari Momota? Dia punya fasilitas bagus, pelatih bagus, latihan bagus. Apa lagi?

Pada Asian Games 2018, Momota juga kalah melawan Anthony Ginting pada babak kedua. Artinya, Momota belum bisa mengontrol tekanan-tekanan yang datang dari luar dalam event-event besar. Dan di Olimpiade, tekanannya lebih besar lagi.

Bisa jadi ini yang terjadi pada Marcus Gideon/Kevin Sanjaya. Mereka kan saat tur-tur BWF konsisten bermain solid dan cepat. Tetapi dalam turnamen seperti Olimpiade ini, yang diadakan setiap empat tahun sekali, mereka tidak bisa mengatasi tekanan itu. Ambisinya mungkin terlalu gede, jadi tidak fokus, dan akhirnya merusak permainan sendiri.

Sekarang kita kembali ke benua Amerika. Bagaimana peta kekuatan bulu tangkis di sana?

Sampai sekarang, di benua Amerika, pusat kekuatannya selalu pada dua negara, USA dan Kanada. Negara yang lain tidak punya tradisi. Mengapa USA dan Kanada? Karena di sana, yang bermain banyak orang Asia. Orang Tiongkok, Indonesia, main badminton di sana. Mereka tahu bahwa kultur utama olahraga ini berasal dari Asia.

Coach-coachnya juga berasal dari Indonesia, Tiongkok, dan Malaysia. Pokoknya dari Asia. Sebab, mereka inilah yang paham dasar-dasarnya.

Di Guatemala misalnya, banyak pelatih yang tidak memiliki dasar sebagai pemain. Banyak dari mereka yang merupakan pelatih daerah dan pekerjaannya adalah guru olahraga dan pelatih fisik.

Latihannya juga cuma satu jam dalam sehari. Jadi, perbedaannya memang jauh sekali. Walaupun mendapatkan kursus kepelatihan, ya tetap saja tidak bisa maksimal.

Menyadari hal itu, negara-negara benua Amerika mulai berani mengontrak pelatih dari Asia. Misalnya yang dilakukan Peru, Guatemala, dan Meksiko.

Tapi, sistem di beberapa negara itu berbeda. Meksiko misalnya, mereka tidak punya timnas. Jadi, atletnya latihan sendiri-sendiri. Kalau ingin bertanding, atletnya harus mengeluarkan biaya sendiri.

Kadangkala, orang tuanya tidak mampu dan mereka tidak mau membiayai anaknya terus-menerus. Selain itu, bulu tangkis masih dianggap olahraga hobi.

Saya pernah melihat pemain muda USA yang bagus. Tapi kemudian saya tidak melihatnya lagi bermain di level senior. Dia bilang, ‘Ah ini kan olahraga yang fun saja. Setelah ini saya ya kuliah. Sebab olahraga ini tidak ada masa depannya.’ Katanya seperti itu.

Kalau melihat seperti itu, berarti akan sangat sulit bagi atlet benua Amerika untuk bersaing di level dunia?

Iya, memang akan berat sekali. Kalau melihat potensinya, negara yang bisa melawan Asia dan Eropa ya kemungkinan besar USA dan Kanada. Tapi, tidak menutup kemungkinan Peru, Guatemala, Meksiko bisa memberikan kejutan.

Di tunggal putri misalnya, ada pemain Kanada Michelle Li yang menempati ranking 11 dunia.

Ada pula pemain Kanada bernama Brian Yang yang dilatih oleh pelatih Indonesia Mario Santoso. Dia dari Djarum juga. Melawan Brian, Kevin Cordon nyaris tidak pernah menang.

Pemain Kanada Brian Yang hampir mengalahkan Chou Tien-chen pada Olimpiade Tokyo 2020. (Pedro Pardo/AFP)

Terakhir-terakhir ini, Brian sudah bisa menang melawan pemain-pemain Eropa. Selain itu, dia bisa mengimbangi lawannya dari Asia. Istilahnya mulai ramai. Pada Olimpiade Tokyo, Brian hampir saja mengalahkan Chou Tien-chen (pemain Taiwan, eks nomor dua dunia, red). Dia bermain tiga game dengan ketat. Brian ini punya potensi besar.

Selain USA dan Kanada, bagaimana dengan negara-negara benua Amerika lainnya?

Gambarannya begini, kalau di Brasil, Peru, Ekuador, atau Meksiko, memang masih ada yang tidak tahu apa itu badminton. Saya pernah ditanya, ‘Kamu kerja apa?’ Saya bilang saya pelatih badminton. Tetapi ada yang bilang, ‘Itu olahraga apa?’

Karena tidak tahu, saya lalu mencari foto badminton di Google dan menunjukkan kepada mereka. ‘Wah, dari fotonya, saya pernah lihat kayaknya.’ Begitu jawaban mereka.

Di negara-negara itu, sepak bola adalah rajanya, memang nomor satu. Bahkan pemain badminton di sana mahir sekali bermain sepak bola. Kalau kami refreshing, para pemain Guatemala dan Meksiko main bolanya bagus sekali. Main bolanya mereka itu, kayanya sama kualitasnya dengan liga di tempat kita.. ha..ha.ha..

Mas Dafi sudah melatih di benua Amerika selama lebih dari 15 tahun. Bagaimana Mas Dafi merefleksikan karier Mas Dafi?

Bagi saya, ini pengalaman yang luar biasa. Saya bisa membawa negara-negara yang saya latih, meraih apa yang selama ini mereka impikan. Bagi saya pribadi, apa yang saya lakukan ini sangat menambah wawasan dan pengalaman.

Saya bisa bertemu pelatih-pelatih asing lainnya dan bisa berbagi dengan mereka. Apalagi, saya bisa membantu menciptakan sejarah untuk Pan Am. Bagi mereka, apa yang dilakukan Kevin adalah hal yang membanggakan. Senang sekali rasanya, saya bisa berbagi dengan mereka semua. (*)

By admin