Awalnya, kegiatan menulis menjadi passion pribadi dalam diri Sri Kis Untari. Lantas, dia menularkan kegemaran itu kepada guru, staf sekolah, dan siswa. Hingga mereka ketagihan berliterasi sekaligus bikin karya dalam bentuk buku.

NURUL KOMARIYAH, Surabaya

SUATU kali, Kepala SDN Margorejo I/403 itu bertanya kepada beberapa kawannya mengenai kemungkinan untuk menerbitkan buku. Namun, jawaban yang didapatnya selalu sama. Menulis dan membukukan tulisan itu bukan perkara mudah. Pasti sulit dan bahkan hampir mustahil.

Hingga kemudian dia menemukan kesempatan mengikuti pelatihan menulis gratis yang digagas Rumah Menulis Al Qalam pada Maret 2020. Selama tiga hari Kis menjadi salah seorang peserta. ”Belajar langsung sama Najib Sulhan, pendirinya. Dari latihan itu, saya tahu bahwa menulis tidak sulit. Rasanya saya mulai ditunjukkan oleh Yang di Atas kalau menulis itu mudah,” ujarnya.

Demi lebih menyeriusi belajar mengenai kepenulisan, pasca pelatihan Kis lantas bergabung sebagai anggota penulis di sana.

Tulisannya pun dibukukan dalam dua antologi esai bersama anggota penulis lainnya. Kis semakin termotivasi. Lantas, dia mulai mengajak guru-guru di sekolah yang dipimpinnya untuk menjajal kegiatan menulis.

”Namanya mengajak pasti ada yang mau dan ada yang tidak. Itu sudah saya pikirkan sebelumnya. Maka supaya mereka mau, sebelum mengajak, saya sudah siapkan strategi,’’ jelas dia. Kis menunjukkan dua tulisannya yang dibukukan dalam dua buku antologi esai. Sembari menunjukkan dua buku tersebut, dia meyakinkan bapak dan ibu guru bahwa menulis tidaklah sesulit yang dibayangkan.

Dari situ timbullah keinginan guru-guru untuk menulis. Mereka sepakat untuk menulis mengenai metode atau cara pembimbingan kelas daring bagi siswa. Kis menyebut, tema seperti itu memudahkan guru-guru sebagai penulis pemula untuk mengeksekusi gagasan.

Dalam prosesnya, tentu banyak kendala. Kis mengoreksi dan mengedit sendiri tulisan guru-guru tersebut. Beberapa guru pun merasa sulit karena berpikir bahwa mereka tidak punya hobi dan bakat menulis. ’’Hambatan juga datang pas saya tagih tulisan ke mereka, ngunu iku mesti alasan. Ada yang bilang, ’lho saya lo Bu masih ngerjakan yang lain’. Artinya belum punya pembiasaan diri dan tidak meluangkan waktu secara rutin untuk menulis,” kenangnya.

Tantangan lain adalah soal biaya menerbitkan buku. Kis sempat putar otak untuk menemukan sumber pembiayaan. Kemudian, dia meminjam uang hasil penjualan limbah dari bank sampah sekolah. Sebagai modal awal produksi 35 eksemplar buku dengan ongkos per buku Rp 35 ribu. Lantas, lahirlah buku pertama karya guru-guru SDN Margorejo I berjudul Parenting di saat Pandemi Covid-19.

”Modal dari bank sampah bisa langsung kembali dari hasil penjualan buku yang juga dibeli oleh warga sekolah. Mereka sueneng, bangga punya karya yang dibukukan dan ber-ISBN,’’ ujar dia.

Hal tersebut begitu membahagiakan bagi Kis. Ketagihan guru-guru dalam menulis dirasakannya sebagai sebuah hadiah tersendiri. Sampai saat ini tak kurang ada empat buku karya guru-guru. Mereka patungan menulis esai hingga cerpen tiga paragraf (pentigraf) yang dibukukan dalam sebuah antologi.

Langkah Kis menyebarkan kecintaan menulis tidak hanya kepada guru, tapi juga berlanjut kepada siswa. Mereka diajak menuliskan pengalaman belajar di rumah. Suka dukanya. Pahit manisnya. Tiga puluh lima karya siswa terbaik pun dibukukan dalam buku berjudul Ceritaku Cerita Seru.

’’Anak-anak senang bukan main ketika bukunya jadi. Apalagi orang tua. Melihat nama anaknya tertulis di sampul buku itu bangga. Mereka berbondong-bondong beli bukunya sampai best seller,’’ ungkap Kis.

Kis merupakan sosok pemimpin sekolah yang tidak hanya menyuruh dan mengajak. Namun di balik ajakannya untuk menulis, dia sudah punya karya serta prestasi lain.

By admin