PELANGI mulai mengintip di balik awan. Pekan lalu (5 Agustus 2021), BPS merilis perkembangan ekonomi mutakhir (triwulan II 2021).
Data ini sangat ditunggu untuk mengetahui kemajuan ekonomi nasional. Secara keseluruhan, data terbaru menunjukkan tiga perkembangan pokok. Pertama, perekonomian kali pertama membukukan pertumbuhan positif pada triwulan I 2020.
Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2021 sebesar 7,07 persen (yoy) dan 3,3 persen (qtq). Pencapaian itu sekaligus mengakhiri data resesi ekonomi.
Kedua, di semua sektor ekonomi pertumbuhannya positif. Sektor transportasi dan pergudangan serta akomodasi dan makan-minum merupakan sektor yang tertinggi pertumbuhannya. Ketiga, Pulau Jawa dan Bali kali pertama juga tumbuh positif (7,8 persen dan 3,7 persen; yoy), mengikuti wilayah lain yang sudah tumbuh positif pada triwulan sebelumnya. Kabar itu penting karena Pulau Jawa dihuni sebagian besar penduduk dan menjadi titik tumpu ekonomi nasional.
Low Base Effect
Pertumbuhan positif dalam angka yang tinggi itu patut disambut bahagia karena jalur perbaikan ekonomi secara konsisten bisa dijaga sejak triwulan III 2020 sampai sekarang.
Misalnya, triwulan II 2020 tumbuh -5,32 persen; triwulan III 2020 tumbuh -3,49; triwulan IV 2020 tumbuh -2,19; dan triwulan I 2021 tumbuh -0,71 persen (yoy). Pertumbuhan tinggi triwulan II 2021 sudah bisa diprediksi karena sesuai dengan pola negara lain seperti Tiongkok, AS, Singapura, dan Uni Eropa yang pertumbuhannya melonjak persis setahun seusai tekanan terberat pandemi terjadi pada masing-masing negara. Di Tiongkok ekonominya paling hancur pada triwulan I 2020 (karena pandemi barawal dari Wuhan) sehingga pertumbuhan paling tinggi terjadi pada triwulan I 2021 (18,3 persen, yoy). Posisi AS, Singapura, dan Uni Eropa sama dengan Indonesia, pertumbuhan tertinggi terjadi pada triwulan II 2021 (karena pandemi datang setelah Tiongkok).
Setelah ini pemerintah mesti bersiap pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah dibandingkan triwulan II 2021 setidaknya oleh dua sebab. Pertama, basis pertumbuhan triwulan III 2020 tidak serendah ketimbang pertumbuhan triwulan II 2020 (BPS menyebut low base effect). Jika basis pertumbuhan tahun sebelumnya rendah (yoy), ungkitan aktivitas ekonomi sedikit saja akan memberikan gerak pantul yang tinggi. Ini ibarat efek bola pantul, bola yang jatuh ke tempat rendah akan memantul lebih tinggi. Kedua, sejak Juli 2021 pemerintah menerapkan PPKM darurat yang membuat ekonomi terkontraksi lagi sehingga pertumbuhan pasti tertekan. PPKM darurat diberlakukan di Jawa dan Bali setidaknya sampai 9 Agustus 2021 sehingga tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan III 2021 pasti akan sangat besar. Jadi, stabilitas pertumbuhan ekonomi ke depan amat bergantung pada penanganan sektor kesehatan.
Patut pula dicermati data lain di mana salah satu sumber penopang pertumbuhan ekonomi berasal dari perdagangan internasional. Ekspor pada triwulan II 2021 tumbuh 55,8 persen dan impor 50,2 persen (yoy). Ini pertumbuhan mengesankan yang disebabkan pertumbuhan mitra dagang utama seperti AS, Uni Eropa, Jepang, dan Korsel juga positif (di samping soal low base effect pada triwulan II 2020). Tren tersebut diharapkan menjadi pemicu surplus neraca perdagangan yang bisa memperkuat cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar. Berikutnya, pengeluaran pemerintah, PMTB (pembentukan modal tetap bruto), dan konsumsi rumah tangga juga tumbuh lumayan tinggi sehingga memberikan optimisme terhadap penguatan struktur pertumbuhan di masa mendatang. Pertumbuhan pengeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga menampakkan pemerintah cukup sigap menggelontorkan program sehingga daya beli masyarakat terjaga.
Padat Tenaga Kerja
Pertumbuhan sektoral laik dicermati dengan serius karena memantulkan data yang ambigu. Di satu sisi patut disambut gembira karena sektor yang padat tenaga kerja seperti industri pengolahan, perdagangan, dan konstruksi tumbuh impresif, masing-masing 6,58 persen; 9,44 persen; dan 4,42 persen (yoy). Pertumbuhan sektor itu diharapkan mempekerjakan kembali pekerja yang sempat terlempar dari arena ekonomi.
Masalahnya, pada sektor pertanian yang menyerap tenaga kerja paling besar justru pertumbuhannya hanya 0,3 persen. Itu hasil mengenaskan karena sektor tersebut yang justru terus tumbuh positif sejak pandemi hadir. Begitu pemulihan terjadi, pertumbuhan sektor pertanian malah anjlok. Salah satu faktor penjelasnya, pada saat gelombang kedua pandemi menyergap Indonesia, wilayah pedesaan juga terpapar parah. Padahal, selama ini desa-desa relatif kurang terjamah virus dalam jumlah yang masif. Akibatnya, kegiatan di sektor pertanian ikut melemah.
Investasi juga memegang peran vital dalam pemulihan ekonomi sekarang. PMTB tumbuh 7,5 persen dan realisasi investasi yang dirilis Kementerian Investasi/BKPM tumbuh 16,2 persen pada triwulan II 2021 (yoy). Lebih bagus lagi di dalam investasi itu terjadi perimbangan antara Jawa dan luar Jawa serta antara PMA dan PMDN, di samping Kementerian Investasi/BKPM juga punya program yang memberikan afirmasi kepada pelaku usaha UMKM. Jadi, investasinya lebih bermutu dan inklusif.
Seluruh capaian tersebut jelas menggembirakan, tapi tidak boleh melenakan. Pemerintah mesti terus fokus menangani kesehatan dan menjamin proteksi sosial kepada warga yang rentan. Angka statistik kerap tidak bisa mendeskripsikan kehidupan sebenarnya seluruh warga negara. Sampai saat ini, kehidupan warga menengah-bawah amat berat karena terlempar dari pekerjaan. Sekarang misi penyelamatan kehidupan rakyat merupakan panggilan moral tertinggi. (*)
*) AHMAD ERANI YUSTIKA, Guru Besar FEB UB dan Deputi Pembangunan Ekonomi Setwapres