DI tengah usaha keras menanggulangi pandemi, sejumlah elite politik malah sibuk berkompetisi di jalanan dengan memasang billboard memakai foto terbaik mereka. Alih-alih tebar optimisme dalam menghadapi pandemi, mereka tebar pesona dengan jargon dan pesan yang tidak relevan dengan situasi terkini. Apakah itu bentuk komunikasi politik yang tidak empatik? Atau malah para elite politik yang terlalu malas mengembangkan cara berkomunikasi baru di era Covid-19?

Komunikasi yang Berubah

Pandemi telah memaksa para politikus untuk mengubah komunikasi politiknya. Andrew Roe-Crines (2021) mencatat bahwa politisi sudah tidak mempunyai kesempatan untuk tampil secara langsung di muka publik maupun berbicara di hadapan kelompok pendukung mereka. Mereka tidak dapat menemui konstituen secara langsung. Bahkan, di parlemen, para politikus hanya dapat berbicara di depan sejumlah orang yang saling menjaga jarak.

Jika semula mereka dapat berorasi di depan ribuan orang, sekarang kesempatan itu hanya bisa dilakukan melalui media elektronik. Pandemi mereduksi audiens yang hadir secara fisik, diganti dengan partisipan-partisipan pasif dalam pertemuan virtual.

Covid-19 berimplikasi terhadap retorika politik. Tanpa retorika yang baik, tidak ada tatanan masyarakat demokratis yang kuat. Tidak ada pula pengawasan ideal terhadap perilaku para elite politik. Hal krusial itulah yang muncul akhir-akhir ini.

Billboard memasang gambar elite politik yang menyatakan secara terbuka, atau malu-malu, niatnya maju di Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024. Para elite pemasang billboard: Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Abdul Muhaimin Iskandar, dan Agus Harimurti Yudhoyono seolah menutup mata bahwa masyarakat sedang berjuang lepas dari krisis kesehatan. Mereka memaksakan komunikasi satu arah yang bukannya menawan, tapi malah dinyinyiri masyarakat.

Jika sekadar popularitas yang ingin diraih, tentu bukan perkara sulit. Tapi, apakah popularitas tersebut seiring dengan approval rating masyarakat, maka ini jelas menuju kegagalan. Retorika yang hanya menyatakan siap menyongsong tahun politik 2024, tanpa memedulikan bagaimana bangsa bisa keluar dari krisis yang terjadi di depan mata, adalah retorika kosong yang nirempati dan tidak menarik simpati siapa pun.

Adaptasi

Para politikus, terutama elite politik, harus mempunyai kepekaan sosial, meski terdorong kepentingan politik untuk maraton menuju perhelatan Pilpres 2024. Pandemi telah mengubah susunan sosial masyarakat, termasuk cara berkomunikasi, penggunaan medium sosialisasi, dan kepedulian terhadap sesama.

William Hatcher (2020) menulis, ketidakseriusan Donald Trump dalam penanganan pandemi di Amerika Serikat (AS) telah memberikan pelajaran berharga. Rakyat AS tidak memilih kembali kandidat dari Partai Republik tersebut untuk periode 2021–2025. Kasus Trump menunjukkan betapa berbahayanya mempunyai elite politik yang tidak menyadari pentingnya krisis yang terjadi. Trump yang lebih sibuk membela diri sendiri dan cenderung narsis dipandang tidak peduli kepada rakyatnya. Hal itu menimbulkan krisis tambahan, yaitu krisis kepercayaan publik.

Krisis kepercayaan publik adalah kondisi darurat bagi elite politik. Kepercayaan publik adalah modal utama politisi untuk meraih kekuasaan. Kepercayaan publik dapat dimunculkan dan dirawat dengan komunikasi yang baik. Memasang billboard bukanlah solusinya. Adaptasi dibutuhkan untuk berkomunikasi dengan baik di era pandemi seperti saat ini.

Penggunaan media sosial ataupun melalui aplikasi yang sedang trending seperti TikTok akan mampu menumbuhkan engagement publik dengan para politikus. Komunikasi yang merakyat, tanggap terhadap perubahan, serta tidak menempatkan diri selalu di atas (ya, seperti billboard yang berdiri tinggi) seharusnya dipakai para elite politik untuk mendapatkan kepercayaan tersebut.

Pandemi bukan berarti memutus komunikasi dua arah dengan publik. Jika pertemuan langsung masih belum memungkinkan, menjadwalkan untuk bertemu via konferensi video akan tetap menguntungkan. Jika terdapat kekhawatiran konsentrasi massa, pengiriman paket bantuan data internet agar masing-masing dapat mengakses internet dari rumah akan menarik simpati. Lebih baik lagi jika elite politik dapat menggerakkan partai politik agar bisa bergerak lebih efektif, baik melalui jalur online maupun offline, dalam membantu penanganan pandemi.

Tawarkan Solusi

Alih-alih menawarkan jargon yang abstrak, lebih baik promosi elite politik dilakukan dengan memberikan solusi masalah riil di masyarakat. Iklan dibuat secara simpatik dengan memanfaatkan beragam medium yang ada. Misalnya berisi optimisme menghadapi Covid-19 dan memperkuat kampanye memakai masker serta menjaga protokol kesehatan. Wajah dan postur elite politik tidak perlu selalu muncul. Berikan pendidikan kepada masyarakat bahwa yang penting adalah bergerak bersama untuk keluar dari krisis, bukan sibuk menjajakan foto diri dengan jargon yang bikin risi.

Promosi menuju Pilpres 2024 adalah hal krusial dan harus dilakukan dengan cara yang tepat. Memasang billboard tidak hanya menunjukkan insensitivitas para elite politik. Gugatan masyarakat terhadap dana promosi melalui billboard juga akhirnya menjadi implikasi yang harus dihadapi politisi.

Akhirnya, kita perlu kembali belajar kepada Donald Trump. Bahwa mementingkan diri sendiri dan narsisme politik itu tidak akan berhasil menggaet simpati publik. Sentuh masyarakat dengan empati dan kepedulian yang tulus. Jangan lagi memanfaatkan ruang publik untuk hal-hal yang malah akan menjadi bumerang bagi elite politik itu sendiri. (*)


*) IRFAN WAHYUDI, Wakil Dekan Bidang Riset FISIP Universitas Airlangga Surabaya

By admin