JawaPos.com-Saya melihat dari televisi laga terakhir Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti di Olimpiade Tokyo 2020.
Mereka kalah dari Zheng Siwei/Huang Yaqiong. Saya menilai, permainan keduanya jauh sekali.
Melati tidak bisa mengimbangi di depan. Akibatnya, mereka dalam posisi terus tertekan dan dikendalikan lawan. Kalau dulu, Butet (sapaan Liliyana Natsir) berani bermain di depan dan membuat posisi lawannya menjadi sulit.
Untuk ganda campuran, peran pemain putri memang sangat penting sekali di depan. Ibaratnya, mereka itu playmaker-nya.
Sebenarnya lawan-lawan mereka itu sudah sering dihadapi. Menurut saya, salah satu faktor kekalahan tersebut adalah Melati yang kalah ketika bermain di depan.
Jadi, serangan dari Praveen yang dikenal mematikan dan terkenal dengan smes yang keras itu jarang keluar. Padahal, tidak jarang dapat bola yang pas. Mereka justru lebih banyak bertahan.
Olimpiade tersebut memang berbeda dengan turnamen-turnamen lain. Banyak unggulan yang gagal. Sebagaimana yang juga kita lihat dalam ganda putra. Sebaliknya, ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu yang diprediksi peluangnya berat justru bermain luar biasa. Semua lawan berhasil disikat.
Kembali lagi, ini Olimpiade kedua Praveen. Sebelumnya, di Olimpiade Rio 2016 dia sudah berpasangan dengan Debby Susanto. Sebetulnya soal target, bukan Praveen/Melati yang diharapkan mendapat emas.
Justru harapan ada di puncak Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo. Secara ranking dunia mereka nomor satu dan sulit dikalahkan.
Tapi, tak bisa dimungkiri, benar ada beban tersendiri untuk meneruskan suksesi Owi/Butet itu. Ganda campuran mendapat status sebagai juara bertahan.
Pastilah tekanan tersebut ada. Sekarang PraMel (sapaan Praveen/Melati) menjadi andalan. Saat ini mereka ganda campuran terbaik di pelatnas.
Kini, mereka harus bisa lepas dari bayang-bayang Owi/Butet. Buktikan kalau bisa menjadi penerus menggantikan Owi/Butet. Kalau terbebani dengan prestasi Owi/Butet, malah ada tekanan berlebihan. Akan berat bagi Praveen/Melati ke depannya.
Saya kira pengalaman di Tokyo itu bakal membuat PraMel lebih ringan. Artinya, mereka sudah tahu tekanan seperti apa yang mereka hadapi. Ternyata memang berat kan main di Olimpiade. Terutama bagi Melati yang baru kali pertama.
Ketika bicara Olimpiade, itu lebih ke pertarungan mental. Untuk lawan, mereka sudah saling bertemu di turnamen superseries. Jadi, sebenarnya sudah sangat kenal satu sama lain. Di sini lebih ke mental siapa yang lebih tahan dan lebih kuat. Bukan masalah teknik.
Untuk persaingan, ganda campuran sudah merata di seluruh dunia. Bicara soal ganda campuran Indonesia saat ini, bisa dibilang ini sudah lampu kuning. PraMel gagal melaju ke semifinal dan tidak menunjukkan performa terbaiknya. Sementara itu, ganda campuran yang lain malah belum bisa masuk kualifikasi Olimpiade.
Dalam Olimpiade itu, Indonesia hanya memberangkatkan satu wakil. Itu sudah lampu kuning. Apalagi, selain PraMel, belum ada pasangan lain yang stabil dan mantap secara capaian prestasi. Jadi, perlu kerja keras untuk menatap Olimpiade berikutnya.
Tantangannya, mereka bukan hanya peta kekuatan yang makin meningkat dan merata. Sebab, sekarang makin tidak mudah untuk menang. Kita lihat Prancis, yang dulunya bukan negara bulu tangkis, kini mulai punya pasangan yang bagus.
Memang benar sektor tersebut harus jadi perhatian khusus sekarang. Faktanya, setelah emas dari Owi/Butet, sekarang masuk semifinal tidak bisa dan hanya lolos satu wakil. Itu ketinggalan yang cukup jauh.
Untuk menatap Paris 2024 yang hanya kurang dari tiga tahun lagi, harus ada persiapan yang lebih baik.
Christian Hadinata
Juara Dunia 1980, Anggota Tim Piala Thomas (Juara 4 Kali)