SULIT untuk tidak mengakui peran otoritas keagamaan di Indonesia. Tetapi karena penduduknya mayoritas beragama Islam, otoritas keagamaan Indonesia dipegang oleh organisasi-organisasi Islam. Organisasi Islam di Indonesia secara statistik diwakili oleh NU dan Muhammadiyah. Pendek kata, keduanya adalah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang memegang otoritas di bidang keagamaan.

Namun, perjalanan NU dan Muhammadiyah tidak selamanya berlangsung harmonis, minimal dari sisi metodologi sekaligus interpretasi terhadap teks-teks keagamaan. Keduanya sempat berselisih tentang hukum rokok dan monogami bagi para pengikutnya, sebagaimana keduanya kadang berselisih tentang penetapan 1 Syawal dalam penanggalan Hijriah.

Kendati demikian, NU dan Muhammadiyah belakangan mulai meninggalkan perdebatan dogmatik tentang hal-hal yang sebenarnya hanya cabang (furu’iyah) dari ajaran Islam. Dalam dua puluh tahun terakhir, menurut Azyumardi Azra (2020), keduanya saling mendekat karena terjadi proses kovergensi keagamaan. Sehingga tidak ada lagi perdebatan tentang tahlil, doa kunut, hukum rokok, dan sebagainya. Ini kabar gembira yang perlu terus dirawat dengan baik.

Fragmentasi

Ahmad Najib Burhani (2016) memperlihatkan adanya fragmentasi otoritas keagamaan di Indonesia ketika menyoroti Aksi Bela Islam I, II, dan III yang berpusat di Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Aksi itu melahirkan fragmentasi otoritas keagamaan di Indonesia. Kondisi itu membuat NU-Muhammadiyah tidak lagi sebagai pemegang otoritas dalam bidang keagamaan secara penuh, sebagaimana sebelumnya. Pasca-aksi, ada semacam kekuatan Islam lain yang secara terbuka dipimpin oleh Rizieq Syihab.

Hari ini kecenderungan itu masih terlihat jelas meski tidak seintensif beberapa tahun sebelumnya. Terbukti, ketika NU-Muhammadiyah mengeluarkan fatwa keagamaan terkait pelaksanaan ibadah di tengah pandemi Covid-19. Alih-alih fatwa atau anjuran keagamaan itu diterima secara kolektif oleh para pengikutnya. Aksi penolakan di berbagai daerah tak henti-hentinya terjadi dengan alasan yang sangat teosentris. Covid-19 seolah membuka ruang bagi semakin meningkatnya fragmentasi otoritas keagamaan di Indonesia.

Melewati Tantangan

Pergeseran karakter sebagian pengikutnya yang mengakibatkan fatwa atau anjuran keagamaan NU-Muhammadiyah tidak cukup mendapatkan tempat di hati umat harus dijadikan momentum baik. Momentum untuk mengevaluasi apa dan bagaimana selama ini mereka memegang otoritas keagamaan. Dan harus diakui, dinamika itu menjadi tantangan tersendiri bagi pemegang otoritas untuk merekatkan kembali ’’kepercayaan” jutaan pengikutnya yang kian memudar.

Tetapi, ada tantangan lain yang lebih besar yang hari ini dihadapi otoritas keagamaan kita, yaitu keluar dari jebakan konflik kepentingan kekuasaan. Keterlibatan NU-Muhammadiyah dalam lingkaran kekuasaan bukanlah rahasia lagi.

Ma’ruf Amin rela melepas jabatan rais am PBNU setelah dipinang Joko Widodo untuk mewakilinya pada Pilpres 2019. Hal yang sama dialami Said Aqil Siradj, ketua umum PBNU, yang ditunjuk Erick Thohir untuk menjadi komisaris utama PT Kereta Api Indonesia. Menyusul Said Aqil Siradj, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto resmi diangkat Erick Thohir sebagai komisaris utama sekaligus komisaris independen PT Istaka Karya (Persero).

Keterlibatan Ma’ruf Amin, Said Aqil Siradj, dan Sunanto dalam jabatan politik dan perusahaan BUMN secara konstitusional memang absah. Tetapi yang perlu digarisbawahi, mereka adalah tokoh penting dan berpengaruh yang membawa nama besar organisasi yang dipimpinnya meski tidak ada pernyataan resmi bahwa mereka sebagai delegasi organisasinya. Pada titik ini, posisi mereka sangat sensitif dan mudah dibaca secara politis.

Di sinilah ketergantungan itu dimulai. Darinya kemudian muncul semacam ’’keengganan” politis yang turut mengontrol sikap kritis NU-Muhammadiyah terhadap kekuasaan. Ada semacam ’’hubungan baik” yang harus dirawat oleh otoritas keagamaan dengan pemerintah. Akibatnya, NU-Muhammadiyah hari ini cenderung hanya mengurusi problem-problem keumatan yang bersifat amaliah dan larut dalam perdebatan konservatisme-radikalisme agama.

Kita tidak bisa mengabaikan kontribusi NU-Muhammadiyah dalam hal menangkal paham keagamaan konservatif-radikalis. Itu upaya mulia karena mempertahankan integritas bangsa agar tidak seperti negara-negara di Timur Tengah yang porak-poranda karena sentimen agama. Tetapi, problem kebangsaan kita hari ini tidak berhenti sampai di situ. Ada problem mendasar lain yang tidak kalah membahayakannya; ketimpangan sosial-ekonomi yang melanda sebagian besar pengikutnya.

Mempertahankan idealisme dan sikap kritis dari dalam kekuasaan memang bukan pekerjaan yang mudah. Tetapi jika dibiarkan tumbuh, yang akan dipertaruhkan adalah integritas sebuah organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang dimotori oleh para kiai dan ulama. Ulama dalam literatur keislaman klasik diyakini sebagai pewaris para Nabi. Berbagai catatan sejarah membuktikan heroisme-patriotisme Nabi Muhammad SAW dalam membersamai kaum papa yang tertindas.

Sebagai pemimpin negara maupun agama, Nabi SAW tidak hanya mengajarkan dan mempraktikkan syariat Islam yang berdimensi vertikal, tetapi juga horizontal. Ia selalu tampil di garda terdepan melawan dominasi zalim dan segala bentuk penindasan. Hari ini kita membutuhkan ’’nabi-nabi baru” dengan semangat ketuhanan sekaligus kemanusiaan yang relevan dengan konteks zaman. NU-Muhammadiyah adalah organisasi besar yang potensial memainkan peran itu.

Ke depan kita ingin melihat NU-Muhammadiyah bisa tampil dengan wajahnya yang lebih fresh, progresif, dan memihak pada kepentingan kaum lemah. Kita ingin melihat keberpihakan keduanya terhadap nasib rakyat yang digusur tempat tinggalnya atas nama pembangunan. Yang diambil paksa tanah tempat mereka bercocok tanam. Yang direpresi oleh negara hanya karena mempertahankan kekayaan sumber daya alam dan budayanya dari cengkeraman korporat.

Baca Juga: Pengangguran di Sidoarjo 10,9 Persen, Masih Tertinggi di Jawa Timur

NU-Muhammadiyah memiliki jejak perjuangan yang luhur dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Setelah hampir 76 tahun Indonesia merdeka dari kolonialisme-imperialisme. Akankah jejak perjuangan itu akan terus terawat-dalam bentuknya yang lain atau justru tertimbun oleh kepentingan kekuasaan? Ini harus kita pikirkan kembali. (*)


*) Moh. Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

By admin