JawaPos.com-Situasi yang dialami Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo di Olimpiade Tokyo hampir sama dengan ganda Korea Selatan Park Joo-bong/Kim Moon-soo di Olimpiade Barcelona 1992.
Posisi mereka sama-sama diunggulkan, sama-sama nomor satu dunia, dan hampir tidak terkalahkan. Tekanan ke mereka begitu besar. Tapi, Park/Kim bisa mengatasi hal tersebut.
Untuk Marcus/Kevin, sebenarnya start mereka sudah bagus. Mereka bisa mengalahkan Ben Lane/Sean Vendy dan Satwiksairaj Rankireddy/Chirag Shetty dengan skor telak. Tetapi, tekanan The Minions –julukan Marcus/Kevin– sangat besar.
Di samping menjadi nomor satu dunia, ini kali pertama mereka tampil di Olimpiade. Ekspektasi kepada mereka terlalu tinggi.
Kita lihat tim Indonesia ini, Marcus/Kevin yang diharapkan meraih emas. Kalau Praveen/Melati, peluang masih fifty-fifty. Tunggal putra persaingannya terbuka, tapi harus realistis dengan perjuangan Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie.
Harapan emas tidak sebesar peluang Marcus/Kevin.
Bahkan, Greysia Polii/Apriyani Rahayu yang akhirnya meraih emas awalnya dikepung pasangan Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Persaingan Greys/Apri sangat ketat. Tapi, perhatiaan tidak menyorot ke mereka.
Saya bisa melihat hal tersebut. Ketika saya berada satu bus dengan Kevin dan Marcus saat menuju hall, saya melihat Kevin tidak tersenyum seperti biasanya. Kurang fresh dan tidak shining.
Sangat berbeda ketika kami bertemu pada event superseries biasanya. Kami sering bertemu, bercanda dengan senyum yang rileks, tidak peduli dengan situasi pertandingan.
Saat di Tokyo itu, saya melihat Kevin sangat terbawa suasana Olimpiade. Di sisi lain, dia dan Marcus sebagai pemain andalan Indonesia memiliki ambisi besar untuk memenangkan Olimpiade yang cuma empat tahun sekali ini.
Tekanan itu membuat mereka tidak bisa mengeluarkan performa terbaiknya. Saya lihat saat melawan Aaron Chia/Soh Wooi Yik, pukulan Kevin yang selama ini dikenal tanpa cacat tidak bisa keluar sama sekali.
Defense Marcus juga tidak seperti pemain ganda yang kecil dan cepat. Terlihat sekali ketegangan mereka. Mereka kalah bukan soal teknik. Mereka kalah karena situasi yang membuat mereka kalah.
Untuk Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, saya akui bisa sampai semifinal itu sungguh hal yang luar biasa. Dengan usianya saat ini, bahkan mengalahkan lawan yang saat di superseries sangat sulit, mereka bisa lalui hal itu. Kita harus bisa menerima hasil yang Ahsan/Hendra raih di Olimpiade Tokyo 2020.
Saat Marcus/Kevin kalah, harapan itu beralih ke Ahsan/Hendra. Terus terang, misalnya Ahsan/Hendra bisa lepas dari Lee Yang/Wang Chi-lin itu, saya yakin mereka bisa jadi juara. Di satu sisi, mereka memang menang pengalaman.
Tapi, kita harus menerima, dari segi usia dan kecepatan, pasangan Taiwan itu memang lebih dominan. Faktor kekalahan Ahsan/Hendra berbeda dengan Marcus/Kevin.
Bagaimana peluang mereka untuk ke Paris 2024? Sebelum berpikir lebih jauh, hal pertama yang harus dilakukan adalah memulihkan mental Marcus/Kevin terlebih dahulu.
Ini PR pelatih dan pengurus bagaimana memotivasi balik The Minions. Dari segi psikologis, efek kekalahan ini tidak bisa hilang begitu saja. Saat ini, hingga beberapa bulan ke depan. Itu bisa memengaruhi pertandingan berikutnya. Ini bukan soal teknik. Ini soal mental.
Koh Herry IP sudah berpengalaman dan sudah sangat paham tentang hal itu. Pengalaman memang berpengaruh. Saat memenangkan Olimpiade Atlanta 1996 silam, itu merupakan Olimpiade saya yang kedua. Sebelumnya saya dan Ricky Subagja kalah oleh Park/Kim di perempat final Olimpiade Barcelona 1992.
Lalu, bagaimana dengan Ahsan/Hendra? Jika mereka tampil di Paris 2024, Hendra bisa menyaingi rekor Koh Christian Hadinata yang menjadi pemain utama saat Thomas Cup 1988 di usia 39 tahun.
Tahun ini Hendra berusia 36 tahun dan Ahsan 33 tahun. Tapi, bukan mengecilkan Ahsan/Hendra. Jika mereka bisa lolos ke Paris 2024, berarti regenerasi ganda putra stagnan.
Harapan saya ke depan generasi mudalah yang bisa mendampingi Marcus/Kevin ke Paris 2024. Banyak sekali pemain ganda putra yang potensial di pelatnas sekarang.
Dihitung dari sekarang, waktunya kurang dari tiga tahun lagi. Pertama, Marcus/Kevin harus bangkit dari keterpurukan. Kedua, siapkan pasangan muda agar termotivasi untuk tampil di Olimpiade mendatang.
Menjadi pemain nasional itu bukan lagi soal teknik. Yang saya rasakan dari seorang Christian Hadinata, beliau tidak terlalu banyak bicara soal teknik. Justru, beliau paling menjaga soal feeling, motivasi saat pertandingan, dan motivasi setiap datang ke latihan seperti apa. Itu yang paling beliau jaga.
*Rexy Mainaky
Peraih emas Olimpiade Atlanta 1996 bersama Ricky Subagja, kini menangani timnas Thailand. Seperti dituturkan kepada wartawan Jawa Pos Ragil Putri Irmalia.