DI ANTARA puja-puji di linimasa media sosial dari warganet atas kemenangan pasangan ganda putri Indonesia Greysia Polii-Apriyani Rahayu dalam partai final Olimpiade Tokyo, ada fenomena menarik. Beberapa akun melontarkan celetukan bernada minor tentang para politikus yang mengucapkan selamat kepada Greysia-Apriyani. Yang jadi masalah adalah penampilan foto para politikus itu, yang tak jarang justru lebih besar atau lebih jelas dibandingkan kedua atlet.
Cara itu juga dianggap hanya mendompleng isu, yang dalam bahasa kekinian sering disebut pansos atau panjat sosial. Berbagai cara dilakukan seperti akun Twitter yang mengumpulkan dan mengunggah ulang puluhan poster ucapan selamat dari pejabat publik, anggota DPR, anggota DPD, dan pengurus partai politik. Dengan cara berbeda, banyak pula warganet yang memasang wajahnya sendiri selayaknya apa yang ditampilkan para politikus itu.
Cara para politikus menumpang popularitas ini bukan hal baru. Sesungguhnya sudah menjadi kebiasaan mereka mencoba mencari popularitas dari momen yang menjadi perhatian publik. Yang unik dari momen kemarin ialah bagaimana antisipasi warganet terhadap cara-cara yang dilakukan. Publik seolah sudah hafal cara tersebut. Mungkin juga sudah bosan sehingga reaksi yang muncul justru tidak simpatik.
Reaksi publik pada isu tersebut sebenarnya menjadi gambaran jelas atas perubahan karakter pemilih politik. Jennifer Lee Marshment (2011) telah melihat ada pergeseran karakter itu. Pemilih kini menjadi lebih kritis, mengharap hasil instan, dan lebih suka hasil kerja nyata dibandingkan sekadar retorika.
Perubahan salah satunya disebabkan melimpahnya sumber informasi politik. Pemilih punya banyak pilihan sumber informasi yang menjadikan bahan pertimbangan menentukan sikap politik. Bahkan, kini dalam era tumbuh pesatnya internet, warga tak hanya mendapatkan keleluasaan akses informasi itu sebagai penonton, tetapi mereka bisa turut berperan aktif untuk mencari dan membuat informasi. Mereka bisa menjadi aktor politik itu sendiri.
Hari ini menjadi hal biasa ketika warganet melontarkan kritik atau melakukan konter/perlawanan sebagai reaksi atas komunikasi politik atau kebijakan. Contoh yang terdekat ialah sindiran warganet atas cuitan Menko Polhukam Mahfud MD tentang sinetron yang dianggap tidak empatik dalam suasana genting pandemi. Ada pula tanggapan keras atas kalimat yang dilontarkan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang dianggap merendahkan Papua.
Reaksi kritis yang lebih aktif, misalnya, terjadi ketika warganet mempertanyakan kebijakan pengadaan laptop merah putih Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dengan cara memberikan analisis pada harga dan spesifikasi yang dianggap tidak cocok.
Beragam bentuk reaksi warga, baik yang serius berupa sindiran, kritik, analisis, maupun dalam bentuk humor seperti meme/parodi, ini menjadi ciri khas publik kita ke depan. Pemilih tak lagi sekadar kritis, tetapi juga aktif terlibat dalam pembentukan wacana di ruang publik. Di satu sisi, karakter ini menghasilkan keriuhan dan kegaduhan karena saling sahut dan melempar diskusi. Tetapi, di sisi lain, ini juga kabar baik bagi demokrasi kita.
Komunikasi politik yang dinamis dan berlangsung dua arah dapat tercipta. Komunikasi politik yang bersifat bottom-up dari warga seharusnya bisa mendorong pembentukan kebijakan yang lebih baik.
Butuh Konten Kreatif
Pencitraan sebagai branding politik harus diakui telah dianggap menjadi sebuah strategi marketing politik. Namun, perubahan karakter pemilih di atas semestinya dibaca para politikus untuk mendorong metode yang lebih terstruktur dan terencana. Marketing politik sendiri tumbuh sebagai respons atas perubahan kondisi pemilih yang membutuhkan pendekatan yang lebih strategis.
Upaya para politikus seperti memanfaatkan momen trending Greysia-Apriyani yang memperoleh medali emas bulu tangkis Olimpiade Tokyo beberapa hari lalu sesungguhnya menjadi gambaran tidak terstrukturnya strategi politik. Sebagian besar sekadar menampilkan wajah dan mengucapkan selamat tanpa menampilkan gagasan politik atau bahkan kontribusi nyata yang terkait. Mereka tak ubahnya masyarakat biasa.
Di era apa yang disebut Alvin Tovler sebagai information overload, berlangsung arus informasi yang berlimpah. Kompetisi kualitas konten menjadi kompetitif. Model branding ala pansos semacam itu bisa-bisa mendegradasikan kualitas diri sang pemimpin. Maka, belajar dari kondisi tersebut, ke depan para politikus harus memikirkan strategi yang lebih bisa diterima publik dan produktif bagi keterpilihan.
Karakter pemilih yang sudah berhijrah dalam kultur milenial (digital) lebih mendambakan kinerja dibandingkan wacana semata. Kalaupun harus bercitra, lengkapi dengan capaian fakta yang terukur. Citra berbasis kinerja. Pencitraan tidak bisa dilakukan tanpa kinerja yang nyata dan berdampak.
Publik kini dapat melakukan cek dan analisis atas pesan yang disampaikan. Kalau pesan atau wacana tidak sesuai kenyataan, sangat mungkin justru menuai reaksi minor. Bahkan bumerang yang membunuh kualitas pengaruh. Apalagi sekadar menampilkan wajah, hanya berguna untuk mengenalkan saja tanpa berdampak signifikan pada kesukaan atau bahkan keterpilihan.
Selain itu, satu hal mendasar dalam komunikasi politik ialah pesan yang mencapai dan dipahami audiens. Hari ini, agar pesan tersampaikan pada pemilih relatif mudah dengan berkembangnya media sosial yang cepat, mudah, dan menyeluruh. Namun, untuk dipahami pemilih, pesan harus menyesuaikan kondisi dan karakter pemilih sebagai audiens, dalam bahasa kekinian related atau terkait. Para politikus mesti kembali pada prinsip dasar komunikasi, yaitu ketahui audiensmu.
Baca Juga: Survei BPS Jatim: 19 Persen Warga Enggan Divaksinasi Covid-19
Dengan pemilih yang kini mulai kritis, cerdas, dan aktif, para aktor politik tak bisa lagi sekadar menampilkan wajah, menumpang momen, atau hanya berwacana. Pencitraan tidak bisa lagi dilakukan secara sporadis tanpa rencana. Atau, jangan-jangan mungkin pencitraan sudah usai? (*)
*) GILANG GUSTI AJI, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya