JawaPos.com – Mengasyikan sekali menyaksikan laga baik penyisihan maupun final park putri skateboard Olimpiade Tokyo 2020 di Ariake Urban Sports Park, Tokyo, Jepang, Rabu (4/8).

Jepang kembali memenangi nomor ketiga skateboard ini setelah Sakura Yosozumi yang berusia 19 tahun. Ia membuat skor terbaik 60,9 dari tiga run atau babak yang diikuti delapan atlet yang lolos ke final nomor ini.

Medali perak dan perunggu direbut oleh atlet-atlet cilik sensasional Kokona Hiraki dari Jepang dan Sky Brown dari Inggris yang masing-masing baru berusia 12 dan 13 tahun.

Hiraki membuat skor terbaik 59,04 yang dicatatnya pada run kedua, sedangkan Brown mencetak skor terbaik 56,47 pada run ketiga setelah terjatuh pada dua run pertama.

Kompetisi ini menarik bukan saja karena diikuti oleh anak-anak Gen Z dengan gaya dan penampilan khas generasi masa kini di mana salah satu dari delapan peserta final. Yang paling mengesankan dari kompetisi di antara para remaja ini adalah nyaris tidak terlihatnya suasana persaingan seperti umum terjadi pada kompetisi olah raga.

Mereka saling mengumbar senyum, berbalas tepuk tangan, bahkan saling menepuk punggung, mengusap kepala, saling memeluk, demi memberi selamat dan menyemangati, pada hampir setiap kali salah satu dari mereka menyelesaikan run, entah run itu berjalan baik atau tidak.

Sambil mengumbar senyum dan memasang muka ramah, Yosozumi memeluk dan menyemangati Poppy Olsen, skateboarder Australia berusia 21 tahun, yang terjatuh pada run pertama. Padahal Olsen adalah salah seorang pesaing yang tengah dihadapinya dalam final.

Itu tidak hanya ditunjukkan oleh Yosozumi. Semua dari delapan atlet yang masuk final park putri itu melakukannya, dari awal lomba sampai seremoni medali.

Pada run penentuan di mana Yosuzumi dan Hiraki bisa saja kehilangan kesempatan emas dan peraknya karena Sky Brown bisa menyalip mereka pada run ketiga, kedua atlet Jepang itu malah menyemangati Brown agar mencatat skor tertinggi.

Ketika Brown tak bisa melakukannya, Yosuzumi datang mendekati Brown setelah atlet skateboard Inggris tersebut menyelesaikan run terakhirnya

Yosuzumi memeluk dan menyelamati Brown. Dengan sportif dia menyampaikan gestur salut atas teknik tinggi yang ditampilkan Brown pada run terakhir itu sekalipun tak cukup banyak untuk menyalip skor terbaik yang dituliskan Yosuzimi dan Hiraki.

Suasana yang begitu cair itu berlangsung selama lomba dan setelah seremoni. Ketika Sky Brown asyik bercengkerama dengan keluarganya nun jauh di Inggris sana lewat tautan video dalam layar besar yang disediakan panitia Olimpiade di semua arena untuk para atlet peraih medali, Yosuzumi mendekat.

Yososumi mendekat sambil membentangkan Hinomaru, bendera kebangsaan Jepang, kemudian merengkuh pundak Brown yang juga berselimutkan Uniok Jack, bendera kebangsaan Inggris, sambil turut menyapa keluarga Brown di Inggris dari layar besar itu.

Momen itu tentu saja sangat menarik perhatian media sehingga belasan fotografer mengabadikannya, sementara kamera televisi tak henti menyorot tingkah laku kedua atlet belia ini.

Bukan saja kepada Yososumi dan Brown, kamera televisi juga menyorot tingkah atlet-atlet muda lainnya yang sama sekali enggan memperlihatkan gestur sedang berkompetisi, sekalipun begitu turun arena bersama papan luncurnya, mereka fokus menciptakan yang terbaik.

Mungkin tak ada arena olahraga yang atmosfer persabatatan sekonstan seperti terjadi di skateboard yang terjadi dari awal sampai akhir lomba, bahkan setelah seremoni medali.

Mengapa bisa begitu? Apakah ini karena skateboard, seperti disebut kebanyakan kalangan pecinta skateboard sendiri, bukan sekadar olahraga lebih merupakan seni dan gaya hidup sehingga aura kompetisi menghilang?

Faktanya yang terjadi, paling tidak dari yang terlihat dari luar, cabang olah raga ini memang lain. Ini memang olah raga, tetapi juga terlihat sebagai olah seni, olah pikir kreatif, bahkan menjadi pernyataan mode.

Kebanyakan penggemar dan pelakunya sendiri menyebut skateboard adalah gaya hidup dan oleh karena itu menurut mereka gaya hidup semestinya tidak boleh dikompetisikan.

 

Kostum yang modis

Mungkin benar semua itu terjadi karena skateboard itu memang gaya hidup, ditambah atlet-atletnya yang juga cenderung seniman, cara mereka berkostum pun unik. Tak berseragam. Semua bebas mengenakan apa saja, persis seperti sedang mengekspresikan diri, atau dalam kata lain lebih merepresentasikan gaya hidup.

Tengok saja cara berpakaian mereka. seperti ditunjukkan oleh kedelapan atlet remaja putri yang tampil dalam final park putri di Tokyo itu.

Setiap kali mereka tampil, selalu membuat sensasi di media sosial, karena perikatan atau engagement mereka dengan internet dan media sosial memang sangat tinggi.

Skateboarder putri Jepang Aori Nishimura misalnya. Dia membuat heboh di Twitter setelah tampil serba putih dari topi sampai sepatu, dengan rambut dicat pirang menyala di tengah panas menyengat sinar mentari.

Sementara skater Brazil berusia 13 tahun, Rayssa Leal, mengenakan celana kargo warna cokelat yang disangga sabuk skater hitam.

Banyak skateboarder Amerika Serikat, Jepang, dan Brazil yang sudah menjadi ikon mode sehingga tak heran cara berpakaian mereka pun selalu menarik perhatian media, dan tentunya media sosial.

Pada babak penyisihan putra pekan lalu, ansambel putih dan topi biru yang dikenakan skateboarder Prancis Vincent Milou mendatangkan pujian dari mana-mana.

Sedangkan Nyjah Huston yang ikonik rutin berbagi foto kostumnya kepada 4,9 juta followernya di Instagram.

Sekalipun kebanyakan dirancang oleh sponsor-sponsor seperti Nike, tapi pernyataan mode mereka adalah juga pernyataan hidup mereka, yang bertemali dengan gaya hidup dan gagasan-gagasan mereka.

Pada akhirnya, walaupun diselimuti pro-kontrak masuk olahraga kompetisi, skateboard sepertinya sudah menjadi olahraga masa kini dan nanti. Semoga saja suasana bersahabat di tengah berkompetisi seperti terlihat pada final park putri Rabu pagi tadi itu, bukan yang terakhir, bahkan menjadi salah satu dari identitas skateboard.

By admin