SUNGGUH memprihatinkan. Di tengah-tengah kesulitan masyarakat melawan dampak Covid-19, segelintir orang malah memanfaatkan situasi. Tidak berusaha membantu meringankan beban sesamanya, malah ”mengais kesempatan” menjadi calo.
Ya, saat ini media sosial ataupun siaran radio diramaikan berita betapa sulitnya mendapatkan plasma konvalesen (PK). Terbatasnya persediaan PK dan donornya melalui Palang Merah Indonesia (PMI) membuka peluang percaloan. Layaknya konsep supply and demand, si calo menawarkan jasa mereka mencarikan donor PK. Tentu saja tidak gratis. Menurut berita, ”harga” tiap kantong PK dibanderol Rp 4 hingga 20 juta.
Dengan munculnya ”tsunami” Covid-19, tidak terelakkan lagi menimbulkan efek domino. Melejitnya kebutuhan PK menjadi konsekuensinya. Persepsi masyarakat sudah jelas. Opsi terapi PK (TPK) menunjukkan pasien dalam situasi darurat. Upaya kedaruratan ini dipahami sebagai tindakan penyelamatan jiwa. Usaha apa pun akan ditempuh. Biaya mendapatkan PK yang mestinya ”gratis” harus ditebus hingga berpuluh kali lipat meski melalui calo.
Plasma darah penyintas Covid-19 mengandung antibodi dengan titer tertentu. Antibodi diyakini sangat diperlukan sebagai bagian dari modalitas pengobatan. Menurut PMI, negara kita sedikitnya membutuhkan 5.000 pendonor PK tiap bulannya. Dari jumlah tersebut, baru terpenuhi sekitar 20 persen saja.
TPK pada hakikatnya merupakan bagian dari transfusi darah. Tindakan ini dapat menjadi penyelamat jiwa, tapi harus tetap memperhatikan indikasi yang tepat. Darah terdiri dari bermacam-macam elemen seluler dan protein plasma. Masing-masing berfungsi secara spesifik. Dari satu unit darah donor yang lengkap (whole blood), dapat dipisah-pisahkan berbagai komponen darah.
Komponen-komponen tersebut antara lain sel darah merah pekat (eritrosit) yang berfungsi dalam transportasi oksigen. Berikutnya adalah sel darah putih (lekosit) yang berperan sebagai komponen imunitas tubuh. Selain itu, terdapat pula trombosit yang berperan pada pembekuan darah.
Darah juga mengandung unsur-unsur nonseluler (antara lain plasma segar dan derivatnya, seperti antibodi/imunoglobulin). Antibodi merupakan zat kebal yang terbentuk setelah sembuh dari suatu paparan alamiah penyakit infeksi. Pada umumnya, semakin berat manifestasi klinis yang timbul, semakin tinggi pula titer antibodinya.
Dalam sejarahnya, TPK dinyatakan bermanfaat untuk menanggulangi beberapa macam penyakit infeksi. Penyakit-penyakit tersebut antara lain mumps (gondongan), polio, measles (campak), rabies, influenza A (H1N1), avian influenza (H5N1), SARS (tahun 2003), MERS (tahun 2012), dan ebola.
Hingga kini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum menyatakan TPK sebagai standar pengobatan Covid-19. Pedoman WHO tersebut telah dipublikasikan pada 10 Juli 2020 dan diperbarui 17 Februari 2021. Mengacu pedoman tersebut, TPK pada Covid-19 masih dalam ranah terapi eksperimental.
Food and Drug Administration (FDA) memberikan rekomendasi penggunaannya hanya untuk pengobatan darurat (emergency use authorization/EUA). FDA adalah BPOM-nya Negeri Paman Sam. Rekomendasi itu menyatakan, TPK sebatas kepentingan penelitian (investigational new drug/IND). Pedoman FDA telah mengalami pembaruan beberapa kali.
Uji klinis TPK yang paling besar dan pernah dilakukan adalah di Inggris. Melibatkan 11.558 pasien dan disebut RECOVERY Study. Metodologi penelitiannya secara uji acak terkontrol (randomized controlled trial/RCT). Cara ini merupakan uji coba atau prosedur medis penilaian suatu obat yang paling sahih. Selain itu dianggap memiliki bukti ilmiah paling tepercaya dalam perawatan kesehatan. Kenapa demikian? Hal ini karena dapat menghilangkan kausalitas palsu dan bias suatu penelitian.
Studi ini telah menghasilkan suatu kesimpulan. Ternyata TPK tidak memperbaiki survival dan tidak mempercepat kepulangan dari rawat inap di rumah sakit. Laporan penelitian ini telah dipublikasikan di The Lancet 14 Mei 2021. Lancet merupakan jurnal medis umum tertua dan paling terkenal di dunia. RECOVERY Study pada prinsipnya ditujukan untuk mengevaluasi pengobatan apa saja yang paling efektif melawan Covid-19. Studi ini pula yang pada akhirnya merekomendasikan penggunaan deksametason pada Covid-19 yang berat. Obat golongan steroid ini kemudian digunakan pada praktik klinis di seluruh dunia.
Riset di Italia juga dilakukan pada 228 pasien yang mengalami radang paru berat (pneumonia) akibat Covid-19. Mereka diberi TPK sesuai pedoman protokol penelitian. Data ini dibandingkan dengan 105 pasien yang tidak mendapat TPK. Kesimpulan sudah didapat. TPK tidak efektif dalam menurunkan kematian dan mencegah terjadinya perburukan Covid-19.
Laporan ini dimuat dalam The New England Journal Medicine volume 384, 18 Februari 2021. Masih ada beberapa lagi penelitian yang memberikan hasil serupa dari berbagai negara. Misalnya yang dimuat di Journal of the American Medical Association (JAMA) Network Februari 2021. Peneliti Amerika Serikat, Jerman, Swiss, dan Swedia yang berkolaborasi menyatakan, TPK tidak cukup bermanfaat.
Sesuatu yang jamak terjadi bila suatu penelitian menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Beberapa penelitian, terutama di Tiongkok, mendukung TPK. Hasil TPK yang ”menjanjikan” juga didapatkan beberapa peneliti di Amerika. Studi itu dimuat di jurnal Nature Medicine November 2020.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI mengomandani uji klinis TPK. Penelitian itu melibatkan sekitar 25 rumah sakit di seluruh Indonesia dan dimulai September 2020. Kesimpulan uji klinis ini menyatakan, pada kasus dengan derajat sedang dan berat, tidak ada perbedaan yang bermakna dalam kematian. Artinya, antara yang mendapatkan TPK dan yang tidak, diperoleh hasil yang sama. TPK juga tidak terbukti dapat mencegah seseorang jatuh menuju kondisi yang lebih berat. Ventilator biasanya sangat diperlukan untuk mengelola kondisi demikian ini.
Sebagai langkah solusi, banyak peneliti yang sepakat bahwa TPK masih bermanfaat. Bilamana? Harus diberikan pada fase dini perkembangan penyakit dan diperlukan PK yang mempunyai titer antibodi yang tinggi. Diperlukan peninjauan ulang TPK agar diperoleh manfaat yang optimal. Penyintas Covid-19 yang mendonorkan PK-nya juga dapat tersenyum lega. (*)
*) ARI BASKORO, Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya