JawaPos.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pernah berbicara mengenai kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk menghadapi varian Delta. Bahkan pada 12 Juli lalu, Sri Mulyani sempat mengatakan pemerintah membuat skenario penerapan PPKM hingga 6 pekan.
Seperti diketahui, saat ini PPKM masih berlanjut. Semenjak masuknya virus Covid-19 varian delta, pemerintah menerapkan kebijakan PPKM Darurat sejak 1-20 Juli 2021.
Pembatasan kemudian dilanjutkan dengan PPKM Level 3 dan 4 pada 21-25 Juli. PPKM berlevel pun masih berlanjut pada 26 Juli-2 Agustus, yang kemudian berlanjut lagi mulai hari ini 3 Agustus hingga 9 Agustus 2021 mendatang.
Artinya, kebijakan PPKM sudah berlangsung hampir 5 pekan. Kebijakan tersebut dibuat untuk membatasi mobilitas masyarakat dan diyakini dapat menekan penularan Covid-19 varian Delta.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio berpendapat, kebijakan PPKM berlevel ini sangat tidak efektif. Tujuan pembatasan yang katanya untuk menyelamatkan ekonomi malah justru akan berdampak sebaliknya. “Ekonomi bisa hancur lho, kalau begini terus. Ini katanya demi ekonomi,” ujarnya saat dihubungi oleh JawaPos.com, Selasa (3/8).
Agus mengaku tidak mengerti alasan pemerintah menerapkan aturan tersebut. Sebab, sepanjang aturan pembatasan diimplementasikan, tidak ada dampak signifikan.
“Menurut saya, dasar hukum PPKM nggak ada. Malah bikin susah. UU Karantina yang ada ya sudah diterapkan itu saja. Tapi ini (UUnya) ada malah pakai Surat Edaran (SE) banyak. Nggak usah lah bikin SE, lepas aja,” tuturnya.
Menurutnya, kunci untuk menghadapi virus varian Delta ini hanya vaksinasi dan disiplin protokol kesehatan Covid-19 yaitu 3M dan 3T. Sebab, kebijakan pembatasan justru akan sangat berdampak bagi dunia usaha.
“Katanya kalau lockdown ekonomi bisa mati. Lha ini nggak lockdown tapi ekonomi mati. Pegawai Lion Air 8.000 dirumahkan lho, itu gara-gara aktivitas nggak gerak. Itu baru satu sektor,” ucapnya.
Kebijakan pembatasan yang tidak diiringi oleh pembagian bantuan sosial (bansos) yang tepat dan merata akan menyengsarakan rakyat. Apalagi, kata Agus, data bansos saja tidak sesuai dan tidak baru. Sehingga banyak masyarakat yang membutuhkan tidak mendapat bantuan.
“Bansos datanya ngawur,” katanya.
Masyarakat juga Tidak Taat
Agus melanjutkan, adanya pembatasan mungkin dibuat karena perilaku kebanyakan masyarakat Indonesia yang tidak patuh atau tidak taat pada hukum. Agus mengatakan, untuk mengatur masyarakat sebenarnya mudah sekali dengan menerapkan denda bagi pelanggaran protokol kesehatan.
Jadi menurutnya, mau tidak mau, masyarakat harus disiplin dan taat prokes Covid-19 jika tidak ingin dikenakan denda yang besar. “Saya sudah pernah dorong tahun lalu untuk mendidik masyarakat pakai denda. Malah dibilang sudah miskin kok harus bayar denda. Ya, kalau nggak mau bayar denda ya harus patuh pada hukum,” tuturnya.
Agus menambahkan, kebijakan PPKM berlevel yang saat ini sedang berlangsung tidak banyak yang berubah dari kebijakan sebelumnya. Efektivitas dalam menekan kasus juga tidak besar. Malah berdampak pada dunia usaha dan masyarakat rentan.
“Saya evaluasi selama 1,5 tahun ini ya, ngapain bikin SE, capek-capek Presiden harus pidato setiap minggu. Nanti siapa yang mau kasih makan orang? Itu kan perut orang, kalau lapar malah nanti nyolong,” pungkasnya.