JawaPos.com – Aturan kepemimpinan Presiden Xi Jinping di Tiongkok dianggap telah memicu eksodus massal. Menurut sebuah laporan, lebih dari setengah juta warga negara Tiongkok melarikan diri dari negara itu sejak Xi Jinping memimpin.
Data terbaru dari UNHCR menunjukkan bahwa 613.000 warga negara Tiongkok telah mengajukan suaka sejak Xi mengambil alih tampuk pimpinan pada tahun 2012. Palki Sharma dari WION mengatakan bahwa sebagian orang-orang Tiongkok takut dengan rezim.
“Jika Anda dianggap sebagai ancaman bagi rezim, negara akan mengejarmu. Orang-orang Tiongkok melarikan diri dari negara itu,” katanya.
“Mereka mencari suaka di negara-negara demokratis. Lebih dari 600.000 warga Tiongkok sejak Xi Jinping berkuasa. Ini adalah eksodus besar,” kata Palki.
Sejak Xi berkuasa, jumlah pencari suaka tahunan dari Tiongkok telah meningkat lebih dari enam kali lipat. “Xi Jinping telah memerintah Tiongkok dengan tangan besi,” ungkapnya. “Setidaknya satu juta Muslim Uighur telah ditahan di penjara massal,” kata Palki lagi.
Laporan WION mengungkapkan bahwa tidak ada yang kebal dari hukum negara, termasuk miliarder. Ini terjadi setelah pengusaha Sun Dawu, yang menjalankan salah satu bisnis pertanian swasta terbesar di negara itu, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara.
Sang maestro pertanian dinyatakan bersalah karena menimbulkan pertengkaran dan memprovokasi masalah. Hukuman miliarder terkemuka Tiongkok itu yang terbaru dari serangkaian hukuman terhadap bos perusahaan. Perusahaan teknologi besar termasuk Alibaba, Didi, dan Tencent juga menghadapi penyelidikan untuk berbagai masalah peraturan.
Antara 2012 dan 2020, jumlah pencari suaka tahunan dari Tiongkok naik dari 15.362 menjadi 107.864, menurut UNHCR. Sekitar 70 persen dari mereka yang melarikan diri dari Tiongkok pada tahun 2020 telah mencari suaka di AS.
Palki Sharma juga mencatat bahwa Tiongkok memperketat cengkeramannya pada sektor teknologi sebagai bagian dari fase berikutnya dalam tindakan keras terhadap warga negaranya. Awal pekan ini, Tiongkok menuduh AS menindas Beijing dan mendesak Washington untuk menghapus sanksi dan tarif dalam pembicaraan tingkat tinggi antara kedua negara adidaya itu.