TREN digitalisasi berkembang pesat. Terlebih di masa pandemi. Tren belanja digital, misalnya. Pembatasan mobilitas memang sangat berpengaruh dalam peningkatan tren belanja digital. Selain itu, kesadaran masyarakat meningkat seiring sosialisasi dan edukasi pentingnya menjaga jarak dan penerapan pola hidup yang aman dari persebaran Covid-19.

Belum lagi program yang terus dilakukan platform e-commerce untuk mendorong masyarakat berbelanja online agar lebih efisien.

Seperti diketahui, dampak ekonomi dari kondisi pandemi memaksa banyak pihak lebih ”berhitung” dan bijak dalam mengelola pengeluaran kebutuhan.

Menariknya, pertumbuhan tren di sektor perdagangan digital tidak hanya tumbuh dari sisi demand. Pertumbuhan terjadi dua arah: demand dan supply. Jumlah seller baru tumbuh pesat. Mereka yang sebelumnya menjalankan usaha secara konvensional atau offline mau tidak mau, untuk bisa bertahan, akhirnya beralih ke online. Selain menekan biaya operasional seperti sewa tempat, mereka mencoba meraih pasar baru yang ditawarkan industri digital.

Sebagian pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja juga mencoba mencari pendapatan dari berjualan online. Hal itu didorong Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) yang dimotori pemerintah bersama para pelaku industri digital Indonesia.

Gernas BBI merupakan program yang mendorong pelaku usaha untuk onboard ke platform e-commerce sebagai salah satu upaya menyelamatkan dan mengembalikan perekonomian Indonesia. Terutama para pelaku UMKM yang paling terdampak pandemi.

Di sisi lain, masyarakat tak boleh lengah. Sebab, pertumbuhan ekosistem digital juga dibarengi peningkatan risiko keamanan. Dari sisi regulasi, upaya memperkuat keamanan industri digital masih terus dilakukan pemerintah melalui komunikasi dengan semua pihak terkait, termasuk pelaku industri digital.

Dari sisi masyarakat sebagai bagian dari pasar digital, dibutuhkan perhatian yang lebih besar. Pengguna internet di Indonesia memang tinggi. Lebih dari 70 persen penduduk Indonesia atau sekitar 202 juta jiwa. Mereka lebih banyak menggunakan internet sebatas untuk komunikasi dan media sosial. Mereka pun perlu menjadi sasaran edukasi dan sosialisasi terkait pentingnya menjaga data diri sebagai bagian dari keamanan digital.

Edukasi bagi pengguna sangat penting didorong. Sebab, di dunia digital, tidak semua data bisa kita berikan kepada orang asing. Misalnya, terkait OTP. Secara sederhana, OTP merupakan kode konfirmasi kepemilikan akun di platform tertentu. OTP biasanya dikirim melalui kanal tertentu yang bersifat pribadi. Misalnya, SMS, e-mail, atau layanan chat yang hanya bisa diakses sang pemilik. Selayaknya PIN ATM atau kartu kredit, OTP seharusnya tidak boleh diberitahukan ke pihak lain, siapa pun itu. Ketika OTP diberikan ke pihak lain, maka itu membuka kunci semua data pribadi di akun tersebut dan rawan disalahgunakan sehingga merugikan pemilik akun.

Pada akhirnya, tren digitalisasi tidak bisa dihindari. Digitalisasi akan meluas di sejumlah sektor dan bidang. Industri digital dan offline bukanlah musuh yang harus saling menjatuhkan. Sebaliknya, dua industri itu bisa berjalan beriringan dan membangun perekonomian Indonesia ke arah yang lebih maju. Kelebihan industri digital adalah menembus batas waktu dan ruang. Transaksi digital bisa dilakukan kapan pun dan dimana pun.

Di sisi lain, industri offline bisa menjadi identitas yang melengkapi perjalanan usaha digital. Misalnya, untuk transaksi yang nominalnya sangat besar. Sangat mungkin konsumen ingin mengetahui lokasi usaha untuk menjamin keamanan, ketersediaan, hingga kepercayaan pada produk yang akan dipesan. Memang secara jumlah, keberadaan usaha secara offline tidak perlu banyak, tapi harus ada demi mendukung transaksi digitalnya. (*)

Baca juga: Kemenkop Ungkap Persoalan UMKM untuk Go Digital


 

  • BIMA LAGA, Ketua Umum Indonesian E-Commerce Association Indonesia (idEA)
  • Disarikan dari wawancara dengan wartawan Jawa Pos Agfi Sagittian

By admin