JawaPos.com – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyatakan, pihaknya sudah mempelajari temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dinilai maladministrasi. Dirinya menegaskan, akan mengambil sikap dari polemik yang lahir karena proses syarat alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) itu
“KPK sudah mempelajari atas laporan hasil pemeriksaan ORI. KPK akan mengambil sikap dan nanti akan disampaikan kepada publik bagaimana sikap KPK atas pihak Ombudsman itu,” kata Firli di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (2/8).
Firli juga mengutarakan, akan menyikapi temuan Ombudsman RI itu berdasarkan hukum. Dia menyebut, Indonesia adalah negara hukum, sehingga mengedepankan hukum dalam melaksanakan segala aktivitas.
“Seketika suatu persoalan sudah masuk ranah hukum, maka tentu ada independensi hukum. Jadi kewenangan lain harus tunduk pada hukum, karena itu KPK mengambil sikap menegak hormati hukum,” tegas Firli.
Dalam hasil pemeriksaan tersebut, Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng membeberkan sejumlah maladministrasi dalam pelaksanaan TWK yang menjadi syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Dia menyebut, proses penyusunan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN dimulai sejak Agustus 2020, hingga pada Januari 2021. Dia menyebut, saat itu belum muncul klausul TWK.
Menurutnya, ide TWK muncul sehari sebelum rapat harmonisasi terakhir, tepatnya pada 25 Januari 2021. TWK diduga disisipkan dalam syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.
“Ombudsman Republik Indonesia berpendapat, proses panjang sebelumnya dan harmonisasi empat hingga lima kali tidak muncul klausul TWK, sekaligus mengutip notulensi 5 Januari 2021. Munculnya klausul TWK adalah bentuk penyisipan ayat, pemunculan ayat baru. Munculnya di bulan terakhir proses ini,” ujar Robert dalam konferensi pers daring, Rabu (21/7).
Dalam hasil penelusuran Ombudsman, pihaknya juga menemukan adanya penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan Perkom 1/2021. Menurutnya, berdasarkan Peraturan Menkumham Nomor 23 tahun 2018, harmonisasi selayaknya dihadiri oleh pejabat pimpinan tinggi dalam hal ini Sekjen atau Kepala Biro, JPT, pejabat administrast dan panja.
Tetapi hal itu dinilai tidak dipatuhi. Dalam rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021, yang hadir bukan lagi jabatan pimpinan tinggi atau perancang, melainkan para pimpinan lembaga.
“Ada lima pimpinan yang hadir, yakni Kepala BKN, Kepala LAN, Ketua KPK, Menkumham dan Menpan RB. Sesuatu yang luar biasa,” ungkap Robert.
Dia pun mempersoalkan terkait berita acara rapat harmonisasi, yang justru ditandatangani oleh pihak-pihak yang tidak hadir dalam rapat, seperti Kepala Biro Hukum KPK, Direktur Pengundangan, Penerjemahan, dan Publikasi Peraturan Perundang-undangan Ditjen PP Kemkumham.
“Sekali lagi yang hadir pimpinan, tapi yang tanda tangan berita acara adalah yang tidak hadir, yakni level JPT,” papar Robert menandaskan.