JawaPos.com – PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) berencana IPO pada kuartal pertama 2022 dan menargetkan untuk menyedot pendanaan hingga Rp 3,25 triliun. Uang tersebut renacananya akan dibangun membangun kawasan wisata terpadu pakai untuk mengembangkan bisnis, salah satunya membangun kawasan wisata terpadu Bakauheni Harbour City.
Rencana itu pun disorot oleh pemerhati dan praktisi industri transportasi logistik nasional, Bambang Haryo Soekartono. Ia mengaku khawatir rencana itu membuat ASDP melenceng dari tugas dan bisnis utamanya sebagai BUMN transportasi penyeberangan.
“Membangun kawasan wisata dan proyek lain di luar core business akan membuat ASDP tidak fokus dan tidak serius menjalankan tugasnya melayani angkutan penyeberangan. Sebelum melenceng jauh, Menteri BUMN, Menteri Perhubungan dan DPR RI perlu segera mengevaluasi rencana dan kinerja ASDP,” ujar Bambang dalam keterangan tertulisnya pada JawaPos.com, Senin (2/8).
Menurut anggota DPR RI periode 2014 – 2019 yang pernah membidangi Komisi V dan VI ini, ASDP tidak patut menggunakan dana IPO untuk kepentingan atau bisnis lain yang tidak terkait langsung dengan tugas pokok dan core business-nya.
“Kinerja ASDP di penyeberangan saja belum maksimal, kok mau berbisnis yang lain. Hampir semua lintasan komersial yang dikelola ASDP masih kekurangan dermaga, bahkan kapasitasnya kurang dari 50 persen. Harusnya fokus bangun dermaga dulu,” ujarnya.
Apalagi, lanjut Bambang Haryo, sebagian besar dermaga ASDP dalam kondisi memprihatinkan, misalnya fender hilang, dophine tidak lengkap, dan banyak fasilitas rusak, sehingga membahayakan keselamatan penyeberangan.
Kekurangan dermaga yang sangat signifikan itu menimbulkan inefisiensi transportasi karena banyak kapal yang tidak bisa beroperasi. Namun biayanya harus ditanggung oleh operator kapal dan konsumen.
Bambang juga mengungkapkan, ASDP mengenakan tarif sandar kapal dan biaya kepelabuhanan yang sangat tinggi sehingga membebani operator dan pengguna angkutan penyeberangan.
Diketahui, ASDP mematok tarif sandar kapal ferry sebesar Rp 144/GT per call (per call di bawah 2 jam), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tarif sandar kapal laut di pelabuhan Pelindo sekitar Rp 95/GT per 8 jam.
Bahakan, lanjut Bambang, BUMN itu juga mengenakan tarif kepelabuhan yang tidak wajar, bahkan melampaui tarif transportasinya, seperti di lintasan Ketapang-Gilimanuk tarif Pelabuhan dikenakan Rp 3.900, sementara tarif transportasinya Rp 3.800.
“Boleh saja tarif mahal tapi pelayanan ASDP harus bagus, semua dermaga dan fasilitas yang disediakan dalam keadaan sempurna,” ujar Bambang Haryo, yang juga Ketua Dewan Penasihat DPP Gapasdap.
Menurutnya, dana IPO tidak patut dipakai untuk bisnis lain sebab investasi ASDP sebagian besar merupakan dana hibah yang berasal dari APBN dan Penyertaan Modal Negara (PMN), baik untuk membangun dermaga dan kapal, maupun subsidi keperintisan.
Sebagai contoh, Dermaga 6 (Eksektufi) Merak-Bakauheni dibangun menggunakan 60 persen APBN dan 40 persen PMN, begitu juga dermaga lain dan sebagian besar kapal ASDP dibangun oleh pemerintah.
“ASDP tidak mengembalikan uang negara itu, sementara swasta berinvestasi sendiri tetapi melayani masyarakat dengan tarif yang sama. Jadi laba ASDP sebesar Rp111 miliar pada 2021 itu semu,” kata Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jawa Timur ini.
Bambang Haryo juga khawatir pembangunan kawasan wisata terpadu tersebut akan menimbulkan conflict of interest, sebab bisa memperlambat arus transportasi penyeberangan demi memajukan bisnis barunya itu. Sebab, jika itu terjadi berarti ASDP menghambat prinsip transportasi yaitu kecepatan, keselamatan dan murah.
“IPO jangan untuk hebat-hebatan dan mencari proyek. Kalau mau kembangkan wisata, harusnya ASDP dorong masyarakat gunakan ferry untuk wisata bahari. Jadi, rencana tersebut harus dibatalkan karena tidak mendukung kecepatan transportasi orang dan logistik,” tandasnya.