JawaPos.com – Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung, Pinangki Sirna Malasari diduga mendapat perlakuan khusus. Terpidana dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra itu diduga hingga kini masih berada di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Agung. Seharusnya Pinangki dijebloskan ke Rutan Kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Kondisi ini terungkap dari pernyataan Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman. Dia menyebut, perlakuan spesial penahanan Pinangki tersebut merupakan bentuk disparitas penegakan hukum yang dilakukan Jaksa Agung ST Burhanuddin dan anak buahnya.
Dia mengaku, akan melaporkan informasi tersebut ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan disingkat (Jamwas) dan Komisi Kejaksaan (Komjak). “Jelas kejaksaan melakukan disparitas penegakan hukum. Kami akan lapor Jamwas dan Komjak atas perkara ini,” kata Boyamin dikonfirmasi, Minggu (1/8).
Baca Juga: Komnas Perempuan Sayangkan Putusan PT DKI yang Potong Hukuman Pinangki
Pegiat antikorupsi ini mendesak agar Pinangki sebagai terpidana harus segera di eksekusi ke Rutan Pondok Bambu. Terlebih hukuman Pinangki telah berkekuatan hukum tetap, meski memang hukumannya dipangkas pada tingkat banding.
“Saya menduga bahwa kekhawatiran bahwa ada hal yang sengaja ditutupin adalah benar adanya,” cetus Boyamin.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta sebelumnya memvonis Pinangki Sirna Malasari 10 tahun penjara dan dihukum membayar denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Tetapi pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara.
Salah satu alasan hakim memangkas hukuman tersebut yaitu bahwa terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil. Namun, Kejaksaan Agung memutuskan untuk tak mengajukan kasasi terkait dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memotong hukuman eks jaksa Pinangki Sirna Malasari dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara.
Boyamin menduga, imbas dari putusan tersebut, hukuman Djoko Tjandra selaku pihak yang melakukan penyuapan pun dipangkas menjadi 3,5 tahun penjara.
“Sumber masalahnya kalau kita runut sebenarnya ini adalah keengganan Jaksa Agung memerintahkan jaksa penuntut umum untuk mengajukan kasasi dan terkesan menurut saya bahkan ini tidak disuruh. Ini berarti bisa jadi malah dilarang untuk mengajukan kasasi,” ujar Boyamin.
Menurutnya, selama ini Jaksa Agung diam seribu bahasa, padahal banyak desakan dan bahkan sudah dilaporkan kepada presiden. Hal ini untuk memerintahkan Jaksa Agung mengajukan kasasi.
“Tapi nyatanya tidak kasasi dan yang memberikan jawaban hanya Kajari Jakarta Pusat, yang mengatakan tidak ada alasan untuk mengajukan kasasi. padahal banyak alasan untuk mengajukan kasasi kan,” sesal Boyamin.
Dia mengatakan, hal ini yang harus dikembalikan pada sumber permasalahan, yaitu persoalan Jaksa Agung untuk tidak memerintahkan kasasi.
“Itu yang harusnya kemudian presiden ya mau ndak mau saya minta untuk mencopot Jaksa Agung karena tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat,” tandas Boyamin.