Nyanyian untuk Dil-Mu
dalam redup pagi musim semi, lilak dan azalea
mengelopak –elok, kelopak demi kelopak
di pekarangan, tumpukan jerami tersiram hujan
bayang menebar –di bawah langit yang abu buram
aku lalu mendaki bukit, cahaya mulai
merambati udara –menguarkan bau rumputan
aku berjalan, sunyi sendiri
berkawan langit dan rentang awan,
kulihat ladang bit dan palawija
di kali tak terhitung jumlah belibis
semalam hujan telah memenuhi
kali, deru angin merontokkan
ranting, tapi padang menghijau muda
di kali tak terhitung jumlah belibis
udara masih serasa musim dingin,
aku tegap mendongak pada cuaca
seketika, hari mulai beranjak
di kali tak terhitung jumlah belibis
rentangan awan, kelabu dan putih
bergayut ringan di pucuk-pucuk tusam
dalam hening hutan bakau di sana
di kali tak terhitung jumlah belibis
entah di mana ada bunyi seruling,
ketika angin meniup deras
pepohonan seolah layang-layang
di kali tak terhitung jumlah belibis
ada biduk tertambat di tepi kali,
langit dan kehijauan membayang
dan bergoyang di arus yang lambat
di kali tak terhitung jumlah belibis
aku lalu menyusuri kali, di latar sendang
yang lama dangkal –kulihat banjaran bukit selatan
tengah hari di pondokan yang sunyi, ada suara
mencicip di atap –lalu punai yang mendengkur pelan
petang, aku memandang sepotong cakrawala
di jendela –di luar, hujan menisik pekarangan
—
Nyanyian untuk Sun-Mi
bila hari itu datang lagi
angin akan terjaga dan mendesir
air sungai akan melimpah lagi
bila hari itu datang lagi
ladang jagung akan menguning
kuncup merekah di dahan ceri
bila hari itu datang lagi
aku akan terbang bagai merpati
berkitar di langit yang jernih
bila hari itu datang lagi
aku akan berpusar dan menari
aku terbang sampai sayapku letih
bila hari itu datang lagi
dengarlah nyanyianku ini
untuk kau kenang, sekali lagi
—
Nyanyian untuk Gu-Li
aku berkata, dia berkata, kami berkata-kata
seolah tak habisnya kami berkata-kata
kulihat ranting prem terantuk-antuk dan menyimak
aku berkata, dia berkata, kami berkata-kata
seolah tak habisnya kami berkata-kata
kudengar tekukur bersahutan di dahan mangga
tahukah kau, rumput itu nanti
akan beku waktu musim dingin
dan nanti, ketika musim semi
rumput akan berkecambah lagi
tahukah kau, matahari nanti
akan tersuruk ke punggung bukit
dan nanti, selewat dini hari
matahari akan semburat lagi
dia yang menyelipkan kemuning
di sakuku, bunga kecil dan putih
tahun lalu, waktu musim semi
jangan lupakan aku, meski
musim berganti, tahun berganti
dan waktu mungkin tak sama lagi
aku berkata, dia berkata, kami berkata-kata
seolah tak habisnya kami berkata-kata
kulihat ranting prem terantuk-antuk dan menyimak
aku berkata, dia berkata, kami berkata-kata
seolah tak habisnya kami berkata-kata
kudengar tekukur bersahutan di dahan mangga
tahukah kau, terik tengah hari
telah menanggalkan kuntum ceri
dan nanti, ketika musim kering
pokok ceri tinggal kerumun ranting
tahukah kau, di bawah matahari
air sungai adalah kristal yang bening
dan nanti, ketika musim dingin
kita temui hamparan es yang putih
tahun ini, kemuning rekah lagi
seperti juga tahun kemarin,
tapi entah ke mana dia pergi?
sekali dia pergi, dia tak kembali
setahun, lalu setahun lagi
tapi entah kenapa dia pergi?
aku berkata, dia berkata, kami berkata-kata
seolah tak habisnya kami berkata-kata
kulihat ranting prem terantuk-antuk dan menyimak
aku berkata, dia berkata, kami berkata-kata
seolah tak habisnya kami berkata-kata
kudengar tekukur bersahutan di dahan mangga
WENDOKO
Menulis puisi dan cerita. Pada 2002, dia menerima SIH Award dari Jurnal Puisi. Dua buku puisinya masuk daftar pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2008 dan 2009. Sejumlah puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dengan judul Selected Poetry (Second Edition, 2018) dan Notes of the Drunkard (2018).