Buku terbaru Eka Kurniawan sukses menautkan sumur pada perihal paling esensial dalam hidup manusia, yakni cinta dan prahara ekologi.
Oleh MUHAMMAD NANDA FAUZAN, Esais dan prosais, bermukim di Serang, Banten
—
DALAM lanskap masyarakat tradisional, selain pasar, sumur adalah pusat aktivitas sosial. Lubang galian ini juga menjadi gudang yang disesaki oleh aneka mitos dan sejumlah aturan; dilarang menggali terlalu dalam, pamali menutup yang sudah tak berfungsi, hingga letak yang diatur sedemikian ketat.
Di beberapa tempat, kita jumpai pula sumur bertransformasi menjadi ruang sakral dan lokus keramat. Dengan makna yang demikian menjejal, sumur memang menjadi lahan potensial untuk digarap dalam bentuk cerita.
Sekadar menyebut beberapa contoh, saya teringat pada cerita pendek berjudul Sumur (2011) yang ditulis oleh Muna Masyari atau Sumur Gumuling (2017) karya Indra Tranggono. Keduanya berhasil menyiratkan sumur sebagai subjek yang dilingkupi aura magis-mistis sekaligus meletakkannya secara utuh dalam pranata sosial.
Buku terbaru Eka Kurniawan sukses menautkan sumur pada perihal paling esensial dalam hidup manusia, yakni cinta dan prahara ekologi. Ketebalan buku ini, menurut saya, konsisten tampil selaras dengan tema besar yang diusung. Wujudnya yang mungil, 51 halaman disertai beberapa ilustrasi, seolah berkampanye untuk menghemat kertas.
Dendam yang Lekas Padam
Pada mulanya adalah kemarau panjang yang menyulut konflik tenurial. Dua orang petani –yang sejatinya sepasang karib– bertengkar memperebutkan sumber mata air, yang berujung pada terburainya isi perut satu di antara mereka. Peristiwa tragis ini membawa dampak yang signifikan. Bukan hanya telikung penjara buat si pemenang dan maut bagi si pesakitan, tetapi juga menghadirkan tembok terjal yang menghalang kisah romansa keturunan masing-masing: Toyib dan Siti.
Eka seperti tak memberi ruang lebih pada segala dendam dan seluruh kesumat untuk berbiak. Pihak korban begitu mudah berterima dengan nasib. Impresi bahwa kita tak berdaya di hadapan amarah alam terhampar dalam bentuknya yang paling manusiawi. Orang-orang menghadapi kematian seolah menunggu giliran, tinggal siapa yang bertindak sebagai pencabut nyawa, alam yang mengamuk atau sesama manusia.
Kita, misalnya, bisa mendengar tuturan sendu –yang lebih tampak sebagai upaya penghibur diri– dari Ibu Siti ketika Toyib menyerahkan amplop berisi uang sebagai tebusan rasa bersalah; ”Aku tahu, ayahmu tak pernah bermaksud begitu” (halaman 18).
Sementara kesetiaan Toyib mengantarkan pikulan ember berisi air dari sumur ke rumah Siti –bahkan kelak, setelah Siti dipersunting oleh laki-laki lain– seperti ajakan untuk kita menerka motif di belakangnya. Mungkin semacam ritual penebusan dosa belaka atau ekspresi cinta yang sungguh platonik.
Jelas sekali, dendam lekas padam di desa yang dilanda krisis ini. Mungkin, karena mereka menyadari sumber dari segala petaka ini; ”Para cukong datang dan membujuk para penduduk kampung menjual kayu-kayu yang tersisa, dan itu berarti uang yang mudah didapat. Pohon-pohon menghilang, dan itu membuat air semakin sulit….Tak seorang pun mengerti bagaimana memotong lingkaran itu” (halaman 34).
Di Antara Desa dan Kota
Bukan peristiwa pembunuhan yang memiliki pengaruh besar dalam menjauhkan Siti dan Toyib, melainkan urbanisasi. Ketika desa dilanda kekeringan, tumbuh-tumbuhan mati dan hewan ternak menyusut bobot tubuhnya, kota hadir beserta godaan sumber penghidupan baru. ”Dan lihat, tak ada anak lelaki maupun perempuan seumurmu masih bertahan di kota ini, kecuali dirimu” (halaman 25).
Kotalah yang merebut Toyib dari Siti, dan kota pula yang –pada titik tertentu– mengembalikan asmara keduanya meski sesaat. Setelah ”kalah” dalam pertarungan hidup di kota, Siti kembali ke desa membawa suami yang dominan membebani dengan asumsi; ”Di kampung, mungkin ia bisa berkeliling ke kampung-kampung lain, membeli pisang, kelapa, pepaya, atau singkong dari petani dan kembali menjualnya ke penadah lain” (halaman 38).
Buku mungil ini memerangkap kita dalam permenungan yang cukup intens, bahwa bagi sebagian orang, kota bukanlah tujuan, melainkan hanya ruang peralihan. Tapi, di samping itu, Eka juga tidak memoles wajah desa secara berlebihan. Ia tak terjebak pada romantisme ala spanduk pariwisata yang memerinci desa sebagai wilayah permai dengan segala sopan santunnya. Sumur (Gramedia, 2021) menampilkan desa secara jujur dengan segala konflik dan realitas objektifnya, sebab menanggalkan kacamata turisme yang lebih sering mengecoh. (*)
- Judul : Sumur
- Penulis : Eka Kurniawan
- Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
- Cetakan : Pertama, Juni 2021
- ISBN : 978-602-06-5324-2