JawaPos.com – Kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih pro-kontra. Tidak sedikit guru yang belum siap mengajar dengan bantuan teknologi. Belum lagi keluhan orang tua murid yang merasa membayar penuh uang sekolah, tapi tetap mereka juga yang repot mendampingi dan mengajari anak di rumah.
Solihati, guru sebuah madrasah ibtidaiyah di Semarang, stand by di depan laptop sejak pukul 06.00 WIB pada hari-hari sekolah. Sekitar 90 menit kemudian, dia berjumpa dengan 27 siswanya secara virtual. Karena mengajar kelas I, perempuan 54 tahun itu biasa pula menjumpai orang tua murid-muridnya di layar. Sesi pelajaran umum dilanjutkan dengan baca tulis Alquran pada pukul 09.00 WIB.
Madrasah memiliki kurikulum yang tidak sama dengan sekolah biasa. Selain pelajaran yang sifatnya umum, Solihati mengajarkan ilmu agama. Dia juga harus menanamkan kebiasaan bangun pagi terhadap murid-muridnya untuk menjaga ibadah mereka. ’’Itu juga sebagai pendidikan karakter. Awalnya tidak mudah, apalagi kelas I,” terangnya kemarin (31/7).
Kendati demikian, dia menyatakan bahwa mengelola kelas daring tidaklah serumit menghadapi grup WhatsApp orang tua murid. Keluhan di grup bisa langsung memantik kegaduhan. Bahkan, keluhan sesederhana tidak bisa join atau suara guru tidak terdengar.
Belum lagi keluhan yang sifatnya serius. Misalnya, repot memantau tugas sekolah dan mendampingi anak dalam kelas daring. Keluhan itu biasanya muncul dari kalangan orang tua yang bekerja. Mereka sulit membagi waktu. Akhirnya, kalimat ”Sudah bayar full, tapi tetap kita juga yang repot’’ terasa bagai tamparan untuk para guru.
Padahal, kerepotan para guru pun jelas bertambah. Khususnya mereka yang seusia Solihati dan tidak akrab dengan teknologi. Sering kali, dia harus terjaga sampai larut malam untuk mempersiapkan materi. Dia juga bersiap jauh lebih pagi karena ingin memastikan laptop dan peranti mengajarnya prima. ’’Kami juga tidak mau berada pada situasi ini, tapi mau tidak mau, pembelajaran harus tetap berjalan,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala SMAN 24 Bone Muhammad Said pun menampung keluh kesah dari orang tua murid selama PJJ. ’’Hampir semua sama. Orang tua mengeluhkan biaya internet untuk PJJ,’’ katanya kemarin. Rata-rata, mereka mengaku tagihan biaya internet naik dua sampai tiga kali lipat.
Pada level SMA, tentu siswa punya kebutuhan lain di luar sekolah. Misalnya, bergaul via medsos atau eksis di sejumlah aplikasi pertemanan. Belum lagi bermain games. Maka, menyalahkan sekolah sepenuhnya atas konsumsi kuota yang melonjak juga tidak bijaksana.
Baca juga: Ruangan Khusus Bantu Anak Lebih Fokus Belajar
Namun, agar tidak membebani orang tua, pengajar di Sulawesi Selatan itu meminta guru untuk tidak mewajibkan kelas daring. Kehadiran bisa digantikan dengan tugas-tugas. Asalkan tugasnya lengkap, kurangnya kehadiran di kelas daring tidak menjadi masalah.
Dia berharap pemerintah setempat mengukur zonasi Covid-19 berdasar area kecamatan saja. Tidak sampai kabupaten atau kota. Dengan demikian, kecamatan-kecamatan yang kasusnya rendah bisa segera menggelar sekolah tatap muka lagi. Khususnya untuk level SMA.