Setiap tengah malam, saat tak terdengar lagi suara aktivitas warga, teror itu mendatangi warga Desa Klitik, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi. Pintu digedor seolah ada yang butuh bantuan. Namun, ketika pintu dibuka, kosong. Sepi. Tak ada siapa pun di balik pintu. Hanya semilir angin dingin yang menusuk tulang.
—
SUDAH tiga pekan teror itu menghantui warga. Bukan hanya satu, tetapi banyak rumah. Semuanya mengalami keanehan tersebut pada pukul 01.30. Salah satunya adalah Suyadi atau sering disapa Mbah Yadi. Bahkan, dia baru mengalaminya awal bulan ini.
Senin malam (5/7) Mbah Yadi menutup warung angkringannya lebih dini karena sedang ada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Namun, dia masih nongkrong di depan warung sekaligus rumahnya di Jalan Sendang, Dusun Kedungrejo, Desa Klitik, sambil menonton YouTube.
Tak ada yang aneh malam itu. Yadi menonton YouTube hingga larut malam. Dia baru masuk ke rumah pada pukul 01.25. Dia mendapati istrinya, Ana Widya, makan sambil nonton televisi. Hanya berselang lima menit masuk ke rumah, dia dan istrinya dikagetkan suara ketukan pintu yang cukup keras. ”Dok, dok, dok, terus ketukan terakhir seperti nanggung gitu,” ucap Yadi saat ditemui pada Sabtu (24/7).
Awalnya, Yadi menduga yang mengetuk pintu adalah keponakan yang tinggal tepat di sebelah rumahnya. Mereka pun diam saja tak membukakan pintu. Namun, setelah ditunggu beberapa menit, sang keponakan tak kunjung muncul. Yadi dan istrinya mulai curiga dan menghubungi sang ponakan untuk memastikan.
Rupanya, sang keponakan berada di rumah dan tak ke mana-mana. Dia juga mendengar suara gedoran pintu yang memang lumayan keras. ”Lho, tak kira tadi Pakde yang ngetuk pintu baru pulang main,” kata Yadi menirukan ucapan keponakannya. Dia dan istrinya pun memilih untuk segera tidur.
Yadi dan Ana kaget karena ternyata peristiwa itu tak hanya terjadi di rumahnya. Di kampungnya, ada lima rumah yang pintunya diketuk makhluk misterius. Sebab, setelah pintunya dibuka, tak ada seorang pun yang berada di luar. Anehnya, waktu kejadian nyaris sama, tepatnya pada pukul 01.30. ”Kalau itu orang iseng, tidak mungkin bisa bersamaan di beberapa rumah,” jelas Yadi.
Peristiwa yang dialami Yadi seakan menjadi awal teror bagi penduduk kampung. Sebab, selama hampir tiga pekan, peristiwa itu terus terjadi. Rumah yang diketuk pun acak. Dalam sehari, pada jam yang sama, setidaknya ada dua sampai lima rumah yang mengalami teror ketuk pintu oleh makhluk misterius. ”Tapi, satu pekan ini tidak ada lagi. Katanya, sudah pindah ke daerah lain,” ungkapnya.
Kabar itu dibenarkan Imam Sholikin, warga Kelurahan Kartoharjo yang bersebelahan dengan Desa Klitik. Bahkan, dia mengalami peristiwa cukup menyeramkan. Pada Jumat Kliwon (23/7), kondisi di lingkungan tempat tinggal Sholikin sangat sepi, berbeda dengan hari-hari biasanya. Hawa, yang kata orang Jawa diistilahkan dengan sintrum, itu membuatnya keluar rumah untuk melihat-lihat.
Waktu itu jarum jam menunjukkan pukul 00.30. Sholikin kaget bukan kepalang saat melihat keranda terbang sangat cepat dari selatan turun ke rumah yang tak jauh dari rumahnya. Melihat keranda terbang tersebut, dia langsung bergegas masuk ke rumah lagi.
”Warnanya seperti keranda biasanya dengan kain penutup warna hijau. Tapi, anehnya di depan ada semacam kain merah,” jelas Sholikin pada Rabu (28/7). Sholikin makin kaget setelah esoknya di daerah keranda terbang itu turun ada lelayu atau kabar kematian.
Dia akhirnya bercerita kepada sesepuh setempat soal kejadian tersebut. Memang, fenomena keranda terbang maupun ketuk pintu di Desa Klitik maupun Kelurahan Kartoharjo tak terlepas dari tulodo atau pertanda. Sebagaimana yang dipercayai orang terdahulu, fenomena keranda terbang dengan kondisi pagebluk seperti saat ini. ”Sopo sing cedak karo Pangeran bakal mukti atau selamet,” tuturnya. Artinya, siapa yang dekat dengan Tuhan akan selamat.
Cerita Lampor Terkait Pandemi Covid-19
Dosen Antropologi Universitas Negeri Semarang (Unnes) Dr Gunawan menyatakan, fenomena lampor atau keranda terbang di Ngawi harus dilihat secara cermat. Kepercayaan terhadap hal mistis nyaris ada di semua masyarakat. Namun, dalam perspektif antropologi, bentuk narasi cerita mistis sangat kultural sesuai dengan konteks di setiap daerah.
”Di Ngawi atau seluruh masyarakat Jawa mungkin mengenal cerita soal lampor. Tapi, saya yakin cerita soal lampor ini tidak ada di masyarakat Bali,” katanya.
Sebab, perlakuan terhadap orang yang meninggal berbeda. ”Bahkan, memedi di daerah lain akan sangat berbeda sesuai dengan konteks daerah masing-masing,” ujar lulusan doktor antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Dalam ilmu antropologi, cerita seperti lampor itu masuk kategori mitos. Cerita mistis tersebut diyakini masyarakat dan referensinya adalah kejadian masa lalu. Selain itu, mitos sering kali mendapatkan legitimasi dari orang yang mempunyai aspek kuasa atas pengetahuan tentang mitos. Misalnya, hal-hal mistis itu diceritakan orang pintar, dukun, tokoh spiritual, maupun praktisi supranatural.
Baca Juga: Samuel Hartono, Pemilik Showroom Disidang karena Jual Mobil tanpa BPKB
Gunawan menuturkan, dalam perspektif antropologi, benar tidaknya cerita mitos itu bukan masalah. Membuktikannya secara saintifik pun tak berguna. Namun, yang penting, bagaimana cerita mitos tersebut bisa muncul. Sebab, memang mitos tak terlepas dari konteks yang sedang terjadi di masyarakat.
”Cerita mitos lampor yang saat ini muncul tidak terlepas dari konteks musibah pandemi Covid-19 alias orang Jawa menyebutnya pagebluk,” terangnya.