JawaPos.com – Jatim merupakan salah satu wilayah yang belum berhasil mencatatkan surplus dalam neraca perdagangan internasional. Faktor terbesarnya adalah impor bahan baku dan konsumsi yang cukup besar.
Wakil Ketua Bidang Organisasi Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Medy Prakoso mengatakan, pihaknya beberapa kali membahas isu neraca perdagangan Jatim. Tiga tahun terakhir, surplus perdagangan hanya mencapai lima kali. Bahkan, selama 2021, belum pernah tercatat kinerja ekspor yang melebihi impor.
“Yang perlu disadari, industri ekspor di Jatim bergantung impor. Sekitar 90 persen bahan baku yang diimpor sebenarnya untuk kepentingan ekspor,” jelasnya kepada Jawa Pos kemarin (30/7).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, nilai impor bahan konsumsi pada Juni tercatat USD 1,7 miliar. Angka tersebut menyerap 78 persen dari total impor. Disusul impor barang konsumsi yang menyerap 15 persen dan barang modal 6 persen.
Hal tersebut disebabkan ekonomi Jatim yang disokong industri pengolahan. Sementara itu, bahan baku yang dibutuhkan industri belum bisa sepenuhnya dipasok dari dalam negeri.
“Contohnya, pabrik pengolahan turunan susu. Kenyataannya, produksi susu secara nasional baru bisa memenuhi 22 persen dari kebutuhan di Indonesia,” ucap pria yang juga punya usaha pengolahan turunan produk susu itu.
Medy menyebutkan, Jatim bisa saja mencoba mengubah neraca dagang internasional menjadi surplus. Salah satu solusinya adalah menekan impor konsumsi.
Pembatasan impor retail dari marketplace bisa menjadi solusi jangka pendek untuk menekan nilai impor. Jangka panjangnya, pemerintah harus turun tangan untuk mendorong pemasok bahan baku industri lokal. Baik dari sisi jumlah maupun kualitas produk.
“Kalau memang di sini ada, kami juga tak akan repot-repot impor,” tuturnya.