Dari Pojok Sempit Stadion, Perunggu Olimpiade Rahmat Erwin Abdullah Berasal

Ayah-ibunya adalah lifter berprestasi internasional, tapi Rahmat Erwin Abdullah malah memulai latihan angkat barbel diam-diam. Dengan peralatan tua, di atas lantai semen, dan di bawah lampu petromaks, dia dibina perebut perak Asian Games dan emas SEA Games.

ARDIANSYAH HENDARTIN, Makassar, Jawa Pos

”INI tempat kami menyimpan medali Rahmat,” kata Ami Asun Budiono dengan nada ceria sambil menunjuk sebuah rak di sudut rumahnya. Dia lalu menunjuk ke salah satunya, ”Itu emas SEA Games 2019.”

Rahmat Erwin Abdullah adalah putra Ami. Rabu lalu (28/7) pemuda 20 tahun itu berhasil menyabet medali perunggu angkat besi dari kelas 73 kilogram Olimpiade Tokyo 2020. Jadi, ketika FAJAR bertandang ke rumah mereka di kawasan Jalan Cendrawasih, Makassar, Sulawesi Selatan, Ami dan suaminya, Erwin Abdullah, beserta seluruh keluarga sedang bahagia-bahagianya.

Keberhasilan Rahmat itu juga semakin melengkapi keharuman nama keluarga lifter tersebut. Tradisi ayah-ibunya merebut medali di ajang multicabang internasional kini dinapaktilasi Rahmat. Ami pernah merebut emas di SEA Games 1995. Erwin menggaet perak kelas 69 kilogram di Asian Games 2002. Dan, tahun ini giliran Rahmat yang mendapat perunggu di Olimpiade.

”Rahmat dulu latihan angkat besinya diam-diam. Pas kami akhirnya tahu, ya sudah kami arahkan sekalian,” kata Ami.

*

Studio tempat latihan di sudut kecil Stadion Andi Mattalatta itu hanya berlantai semen yang dicor seadanya. Tetes dan tempias akan menerpa pojok sempit tersebut setiap hujan mengguyur. Beberapa lampu neon yang berjejer di langit-langitnya tak pernah mendapat tenaga listrik. Jika latihan berlangsung hingga malam hari, Erwin Abdullah terpaksa memompa lampu petromaks tuanya. Cahayanya sudah cukup untuk membedakan bentuk dan beban peralatan studio.

Di sanalah Rahmat menghabiskan masa-masa remajanya. Digembleng ayah-ibunya yang sama-sama mantan lifter setelah mereka tahu sang putra ternyata tertarik dengan angkat besi.

Di ruangan pengap tanpa air conditioner itu. Dengan alat-alat angkat besi yang dari dentingannya saja sudah terdengar tua. Yang dibeli dengan menyisihkan sebagian pendapatan Erwin sebagai pegawai PT Pos Indonesia. ”Sejak awal, kami tak pernah mendapat dukungan,” ujar Erwin kepada FAJAR.

Namun, keterbatasan itu tak pernah melunturkan semangat Erwin menggembleng Rahmat dan dua rekannya sesama lifter pemula. Ketika Rahmat hendak mengikuti kejuaraan perdana, ayah-ibunya kembali harus memutar otak. ”Ya sudah, akhirnya saya dan ibunya Rahmat patungan,” kenang Erwin.

Meski Rahmat sudah mulai menunjukkan prestasi, dalam persiapan menuju PON 2016 pun angkat besi tak menjadi cabang olahraga (cabor) prioritas KONI Sulawesi Selatan (Sulsel). Ingatan Erwin kembali saat Rahmat berjuang mempersiapkan diri tampil di ajang PON 2016. Cabor angkat besi tak menjadi prioritas ataupun cabor unggulan dalam proyeksi perebutan medali Sulsel kala itu. Dipandang sebelah mata.

Baca juga: Kala Rahmat Melampaui Mimpi sang Ayah

KONI Sulsel bahkan tak menaruh ekspektasi tinggi. Apalagi, Rahmat masih dianggap atlet belia yang reputasinya belum diakui. Kondisi itu justru kian memacu motivasi Erwin untuk membuktikan potensi anaknya. ”Ini adalah pertaruhan yang kami tempa selama bertahun-tahun. Impian itu kami asah dan titipkan kepada Rahmat,” tegas Erwin.

*

Ami mengambil gawainya. Dihubunginya nomor sang anak yang sedang berada di Tokyo, Jepang. ”Bagaimana kabarnya?” tanya Ami membuka percakapan.

Selama Rahmat mempersiapkan diri menuju Olimpiade, dalam sehari bisa 10 kali Ami melakukan kontak video dengan sang anak. Maklum, dia kali terakhir bertemu fisik dengan sang buah hati pada Desember tahun lalu. Namun, perbincangan Ami dengan Rahmat kemarin berlangsung singkat. ”Maaf tidak bisa lama-lama dahulu. Saya lagi Zoom Meeting. Salam sama semuanya,” ucap Rahmat menyapa Ami dan FAJAR.

Sebelum tahu bahwa sang anak ternyata doyan angkat barbel, pernah pada satu masa Ami menduga Rahmat bakal menjadi pesenam. Sebab, si buyung hiperaktif. Tak pernah bisa diam. ”Bahkan, waktu masih kecil, dia jalan dengan bertumpu pada kedua tangannya,” terang Ami.

Sejak kecil pula, Rahmat menyukai makanan berkuah dengan racikan atau resep khas keluarga. Makanan itu pula yang selalu dimasak Ami setiap sang putra pulang. ”Ada bumbu khusus karena kami mau postur tubuhnya tetap terjaga,” ungkapnya.

Erwin dan Ami bakal memastikan kaki-kaki sang anak tetap menjejak bumi. Agar tak lantas besar kepala hanya karena bisa merebut medali di Olimpiade, ajang yang gagal diikuti Erwin pada 2004 karena cedera punggung meski sebenarnya sudah lolos.

Masih banyak yang harus dibuktikan Rahmat. Masih banyak yang harus diraih. Namun, setidaknya saat ini keteguhan Erwin dan Ami bertahun-tahun silam kala tak ada pihak yang mengulurkan tangan saat membina sang anak terbukti. ”Tak ada kata yang bisa kami ucapkan selain alhamdulillah,” kata Erwin.

By admin