JawaPos.com – Junta militer Myanmar meminta bantuan internasional. Mereka kewalahan menghadapi gelombang penularan Covid-19. Selama ini hanya Tiongkok, sekutu mereka, yang membantu negara yang tengah berkonflik tersebut.
”Bantuan internasional dibutuhkan untuk mengendalikan dan menghilangkan virus korona dari Myanmar,” ujar pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing seperti dikutip Global New Light of Myanmar.
Pemimpin 65 tahun itu secara spesifik berharap mendapatkan bantuan dari negara-negara anggota ASEAN dan negara sahabat lainnya. ASEAN memiliki anggaran pengendalian Covid-19 dan Myanmar berharap bisa mendapatkannya. Pembicaraan sedang dilakukan. Namun, belum ada perincian lebih lanjut.
Saat ini baru 1,75 juta penduduk Myanmar yang divaksin Covid-19. Atau baru 3,2 persen dari 54 juta populasi penduduk di negara tersebut. Angka penularan harian pada Rabu (28/7) berkisar 5 ribu kasus. Melonjak jika dibandingkan dengan awal Mei yang sekitar 50 kasus per hari. Angka di lapangan potensial lebih tinggi.
Gelombang penularan tiba ketika sistem kesehatan di negara tersebut lumpuh. Pascakudeta dan militer berkuasa sejak Februari lalu, banyak tenaga kesehatan yang mogok kerja. Mereka tidak lagi mengabdi di rumah sakit milik pemerintah. Kurangnya tenaga medis, obat, dan peralatan membuat rumah sakit kewalahan menampung pasien. Sebagian pasien Covid-19 akhirnya meninggal di rumah.
Usaha junta militer dengan menerapkan larangan keluar rumah, tampaknya, tidak berhasil mengerem penularan. Para relawan turun tangan untuk mengambil jenazah pasien Covid-19 di rumah masing-masing dan membantu pemakamannya. Kementerian Kesehatan Myanmar menyebutkan, sejak 1 Juni, ada 4.629 kematian akibat Covid-19. Pemerintah berencana membangun 10 krematorium baru di Yangon untuk mengatasi lonjakan kematian.
Utusan Khusus PBB untuk HAM di Myanmar Tom Andrews mengungkapkan, jumlah pasti kasus dan kematian akibat pandemi di negara itu memang tidak jelas. Dokter dan jurnalis menjadi target serangan sehingga sulit mendapatkan data yang pasti.
”Myanmar menjadi super-spreader Covid-19 dengan varian yang sangat mematikan, yaitu Delta dan lainnya,” tegas Andrews seperti dikutip The Guardian.
Dia menegaskan, virus SARS-CoV-2 tidak mengenal kebangsaan, perbatasan, ideologi, atau partai politik. Semua orang berpeluang sama untuk tertular dan meninggal karenanya.
Andrews mendesak Dewan Keamanan (DK) PBB menyerukan gencatan senjata di Myanmar. Dengan begitu, situasi bisa lebih terkendali. Saat ini ada tiga antrean yang jamak terlihat di Myanmar. Yaitu, di depan ATM, tempat pengisian oksigen, dan depan krematorium maupun tempat pemakaman. ”Aksi internasional kini kian mendesak,” tegasnya.
Penduduk juga kekurangan pangan. Mereka mengibarkan bendera kuning dan putih sebagai tanda butuh makanan dan obat. Media sosial juga dipenuhi dengan permintaan tolong dan pengumuman kematian. Mereka yang antre oksigen kadang ditembak militer Myanmar.
Junta militer Myanmar sudah memesan 4 juta dosis vaksin dari Tiongkok. Beijing akan menambah donasi 2 juta dosis lagi. Awal tahun ini, Yangon sudah mendapatkan 1,5 juta dosis vaksin dari India.
Tiongkok berusaha agar lonjakan kasus di Myanmar tidak merambat ke negaranya. Saat ini varian Delta sudah menyebar ke tiga provinsi di Tiongkok. Yakni, Sichuan, Jiangsu, dan Beijing. Penularan bermula dari sembilan petugas di bandara Nanjing. Hingga kemarin, ada sekitar 200 kasus yang terkait dengan varian Delta. Itulah penularan terbesar di Tiongkok sepanjang tahun ini.
Sementara itu, di Malaysia penanganan pendemi kian ruwet. Pencabutan pembatasan darurat yang dilakukan diam-diam oleh pemerintah ternyata tidak diketahui raja. Pihak kerajaan mengklarifikasi bahwa Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah tidak tahu tentang kebijakan tersebut.
”Raja Malaysia tidak memberikan persetujuan untuk mencabut peraturan darurat Covid-19,” bunyi pernyataan istana, Kamis (29/7) seperti dikutip Channel News Asia.
Pernyataan yang dikeluarkan pengawas keuangan istana Ahmad Fadil Shamsuddin itu menegaskan, berdasar pasal 150 (2B) dan 150 (3) Konstitusi Federal, kekuatan untuk menyatakan dan mencabut peraturan berada di tangan raja.