Berbeda dengan tahun lalu, Suryanto Dulaseh dan jamaah lain cukup menunjukkan bukti telah divaksin dan tak perlu menjalani karantina wajib di rumah. Pengalaman haji pertamanya yang berawal dari nekat saat mendaftar.

M. HILMI SETIAWAN, Jawa Pos, Jakarta

SALAT Subuh telah beberapa saat sebelumnya dia tunaikan. Suryanto Dulaseh mengecek ponsel dan betapa kagetnya mendapati pesan pendek itu.

SMS (short message service) resmi dari pemerintah Arab Saudi, negeri tempat dia bekerja dan bermukim sejak Juli 2020. Dalam pesan yang masuk ke ponselnya pada pukul 02.00 waktu setempat itu, pria 39 tahun tersebut disebut lolos persyaratan sebagai calon jamaah haji 2021.

Pagi pada 17 Zulkaidah (27 Juni) lalu itu pun terasa begitu indah bagi guru kelas IV SD di Sekolah Indonesia Riyadh tersebut. Haru, bahagia, bercampur aduk.

Betapa tidak, di antara setengah juta pendaftar haji, hanya 60 ribu yang lolos saringan karena pembatasan kuota akibat pandemi Covid-19. Dan, dia bersama 326 warga negara Indonesia (WNI) lain termasuk di dalamnya.

Yang boleh mendaftar itu pun hanya warga Saudi dan ekspatriat yang tinggal di negeri monarki tersebut. Salah satu syaratnya punya iqamah atau surat izin tinggal bagi warga negara asing.

Konsul Haji KJRI Jeddah Endang Jumali yang juga ikut berhaji tahun ini mengatakan, syarat lainnya adalah usia 18–65 tahun. Juga tidak memiliki penyakit kronis dengan melampirkan surat keterangan sehat dari rumah sakit di Arab Saudi. ”Syarat lainnya adalah sudah divaksin Covid-19 dua kali atau satu kali bagi para penyintas Covid-19 dengan vaksin yang ditentukan pemerintah Saudi,” katanya.

Pada hari itu juga, sampai pukul 11.00, Suryanto harus sudah memilih paket pelayanan haji yang tersedia. Dan, tiga jam berikutnya, dia harus sudah membayar paket haji yang dipilih.

Ada tiga paket yang bisa dipilih. Mulai 12 ribu riyal (Rp 46,3 jutaan); 16 ribu riyal (Rp 61,8 jutaan); dan 18 ribu riyal (Rp 69,5 jutaan). ”Saya pilih paket paling hemat,” ujarnya saat diwawancarai Jawa Pos secara virtual Senin malam lalu (26/7).

Ditambah aneka pajak, Suryanto menyetor uang 14 ribu riyal (Rp 54 juta) dan mendapat kembalian 60 riyal (Rp 231 ribuan). Paket tersebut sudah meliputi seluruh pelayanan haji di Makkah, termasuk di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armina).

Seperti tahun lalu, kegiatan haji tahun ini hanya berpusat di Makkah. Tidak ada kunjungan ke Madinah untuk berziarah di Masjid Nabawi.

Suryanto mengaku, mendaftar haji 2021 sebenarnya bermodal nekat. Sebab, dengan kuota yang dibatasi hanya 60 ribu orang, dia sadar peluangnya sangat kecil. Apalagi, dia baru sekitar setahun bekerja dan tinggal di Saudi.

”Ini haji pertama saya. Luar biasa pengalaman ini,” kata pria yang sebelumnya mengajar di SD Islam Terpadu Muhammadiyah Al-Kautsar Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, tersebut.

Sejak berangkat ke Saudi untuk mengajar anak-anak WNI, niat bisa berhaji sudah terpatri di dalam hatinya. Jadi, begitu dibuka, dia langsung mendaftar. Seluruh proses pendaftaran pun dilakukan secara daring. ”Saya bahkan tidak tahu di mana kantor Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi,” jelasnya

Dari informasi yang diterima, kendati protokol kesehatan (prokes) sama-sama ketat, pelaksanaan haji tahun ini tidak serumit tahun lalu. Meskipun masih sama-sama digelar di tengah pandemi Covid-19, warga Kartasura, Sukoharjo, itu menceritakan bahwa tahun lalu seluruh calon jamaah haji wajib menjalani isolasi di rumah masing-masing.

Pengawasan isolasi dilakukan dengan memasang gelang yang dilengkapi sensor GPS. Untuk tahun ini, Suryanto menyatakan tidak ada syarat kewajiban tersebut. ”Hanya diwajibkan sudah divaksin Covid-19. Dengan vaksin yang sudah ditentukan pemerintah Saudi,” ujarnya.

Perjalanan menuju Makkah lebih lama daripada biasanya. Sebab, mereka harus melalui sejumlah titik pemeriksaan. Setiap calon jamaah harus menunjukkan smart card kepada petugas pengecekan. Yang tidak bisa menunjukkan kartu pintar itu dilarang masuk ke Makkah.

Sekitar pukul 20.00 waktu setempat, rombongan jamaah yang berangkat dari Taif sampai di Makkah. Setelah itu, dengan didampingi team leader, mereka langsung melaksanakan ibadah tawaf qudum sampai prosesi sai.

Saat itu jamaah sudah campur aduk. Bukan hanya WNI, melainkan juga warga Saudi dan warga negara lain. Menjelang dini hari, masih di tanggal 7 Zulkaidah, jamaah diangkut menuju Mina dan bermalam di sana.

Setiap jamaah ditempatkan di tenda dengan kapasitas hanya enam orang. Kondisi di dalam tenda di Mina begitu longgar. Berbeda dengan kondisi haji normal yang satu tenda bisa diisi puluhan jamaah. Panitia sudah mengatur supaya setiap tenda diisi jamaah dari satu negara.

Kemudian, pada 9 Zulkaidah pagi, secara bergiliran seluruh jamaah diangkut dari Mina menuju Arafah untuk melakukan wukuf. Setelah salat Subuh, seluruh jamaah bersiap menuju Arafah.

Suryanto mengatakan, jamaah diberi waktu sampai menjelang magrib untuk berada di Jabal Rahmah. Setelah itu, mereka harus kembali ke tenda masing-masing. Jarak antara tenda di Arafah dan Jabal Rahmah tidak terlalu jauh. Setelah di tenda, bus sudah menunggu. Bus itu kemudian mengantar jamaah untuk melaksanakan mabit atau bermalam di Muzdalifah.

”Saya dapat antrean pukul 20.00–21.00 untuk berangkat ke Muzdalifah,” tuturnya.

Dalam keadaan normal, kegiatan mabit di Muzdalifah dimanfaatkan juga oleh para jamaah untuk mencari kerikil atau batu. Kerikil itu digunakan untuk melontar jumrah di Mina.

Tetapi, di tengah pandemi, panitia penyelenggara haji sudah menyiapkan kerikil tersebut. Dia melakukan mabit sampai menjelang subuh.

Dia menuturkan, seluruh rangkaian ibadah haji dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Contohnya, jamaah tidak boleh melepas masker.

Baca juga: Fasilitas Mina Memprihatinkan, Jamaah Haji Tidur Berdesakan

Jika ketahuan melepas masker, jamaah didenda 1.000 riyal atau Rp 3,8 jutaan. Selama menjalani ibadah tawaf atau mengelilingi Kakbah, mereka juga diatur sedemikian rupa supaya bisa tetap menjaga jarak. Saat banyak-banyaknya jamaah yang melaksanakan tawaf, ada yang sampai di lantai atas Masjidilharam.

Dari keseluruhan rangkaian haji, lulusan program Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Terbuka (UT) itu hanya menyayangkan tidak bisa mencium Hajar Aswad. ”Tapi, saya bersyukur sekali bisa menjalankan seluruh rangkaian ibadah haji dengan lancar,” ujarnya.

By admin