Kekerasan terhadap perempuan dan anak seakan terjadi tiada henti. Bahkan, kasusnya meningkat selama masa pandemi. Para srikandi ini tampil menjadi yang terdepan dalam membela para korban.
UMAR WIRAHADI, Surabaya
MELATI (bukan nama sebenarnya) tampak begitu murung. Sakit di hatinya seperti memendam trauma berat. Gadis yang baru berusia 16 tahun itu adalah korban pemerkosaan. Pelakunya merupakan tetangga sendiri. Untung, pria bejat tersebut langsung ditangkap Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polrestabes Surabaya.
Namun, itu saja tidak cukup. Meski pelaku sudah ditangkap, dia terus mengurung diri. Bahkan pada awal-awal kejadian, dia sempat tidak mau ditemui siapa pun. ’’Korban trauma berat,’’ tutur Anik Mustika Rahayu. Dia salah seorang pendamping dalam kasus Melati.
Bagaimanapun, hidup harus terus berjalan. Apalagi Melati masih belia. Dia masih punya masa depan yang panjang. Anik pun bersikukuh bahwa korban harus didampingi. Kondisi psikis harus dipulihkan.
Akhirnya setelah mendapatkan trauma healing, kondisi remaja itu berangsur-angsur pulih. ’’Kami bahagia sekali bisa menyelamatkan anak ini dari keputusasaan,’’ tutur perempuan 24 tahun itu.
Anik Mustika merupakan satu di antara beberapa srikandi di Kota Pahlawan yang concern membela korban-korban kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Dia tergabung dalam wadah bernama Savy Amira.
Savy Amira adalah lembaga pemberdayaan perempuan yang berbasis di Kota Surabaya. Lembaga itu berdiri sejak 1997. Fokusnya memang pada kekerasan perempuan dan anak perempuan. ’’Mereka rentan menjadi korban. Sebagai sesama perempuan, kami sangat berempati dengan korban,’’ tuturnya.
Berbagai kasus kekerasan yang menimpa kaum hawa pernah ditangani Savy Amira. Misalnya, pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT, hingga kekerasan dalam pacaran. ’’Dan korbannya selalu saja perempuan,’’ ujar Ketua Savy Amira Surabaya Siti Yunia Mazdafiah.
Dia menyatakan, selama berkiprah pihaknya sudah menangani 1.200-an korban. Baik yang menimpa perempuan dewasa maupun anak-anak perempuan. Ironisnya, lanjut dia, hanya 25 persen pelakunya yang berhasil dibawa ke meja hijau dan dihukum. Sebagian besar pelakunya lolos dari hukuman. ’’Mayoritas karena dianggap kurang bukti dan berakhir damai. Meski ini berat bagi korban,’’ paparnya.
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, kata Siti, ibarat gunung es. Yang dilaporkan terlihat cukup banyak. Tetapi, sebetulnya kasus yang belum terungkap jauh lebih banyak. ’’Sebab, perempuan sebagai korban sering menganggap ini sebagai aib. Sehingga tidak mau dilaporkan. Contohnya, pada kasus pemerkosaan,’’ tutur dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya itu.
Lebih-lebih di masa pandemi ini. Siti mengatakan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Lembaga yang menjadi mitra Komnas Perempuan itu mencatat ada 283 kasus kekerasan yang terjadi selama pandemi. Mulai periode Maret 2020 hingga Mei 2021.
Dari 283 insiden, kasus kekerasan lebih banyak terjadi selama 2021. Selama enam bulan terakhit tercatat ada 149 kejadian. Pada 2020, jumlahnya 134 kasus kekerasan. Jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih banyak daripada 2019 yang hanya 62 kasus.
Menurut Siti, kasus itu didominasi kekerasan domestik dalam rumah tangga. Pada 2020, misalnya, kekerasan terhadap istri sebanyak 43 kasus. Lalu, menyusul kekerasan dalam pacaran sebanyak 24 laporan. Berikutnya, kekerasan orang tua terhadap anak sebanyak 17 kasus. ’’Kita sangat prihatin. Bahwa kaum perempuan bena-benar dalam ancaman saat pandemi ini,’’ terangnya.
Baca Juga: Jual Ukuran 1 M³ Rp 4,3 Juta, Kejari Amankan Kurir Tabung Oksigen
Anik mengungkapkan, laporan kasus lebih banyak terjadi di lingkungan rumah tangga. Situasi itu banyak dipicu kondisi perekonomian keluarga yang terdampak pandemi. Misalnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menimpa kepala keluarga. ’’Lagi-lagi, yang menjadi sasaran kekerasan ibu rumah tangga,’’ ungkap ibu dua anak itu.