PENGUSAHA muslim bernama Jusuf Hamka mengaku diperas oleh manajemen salah satu perbankan syariah melalui pembiayaan sindikasi yang diambilnya. Namun, keengganan ia untuk menyebut nama bank yang dimaksud sangat disayangkan. Itu bisa berefek negatif pada reputasi dan nama baik perbankan syariah lainnya yang telah dibangun berdarah-darah dalam jangka lama.

Dalam pengakuan Jusuf ke sebuah media online, persoalan bermula saat dirinya meminta penurunan ”bunga” menjadi 8 persen. Berhubung permintaan itu ditolak, Jusuf berniat melunasi utang di perbankan itu senilai Rp 796 miliar. Sindikasi bank syariah bersedia utang tersebut dilunasi dengan catatan Jusuf membayar kompensasi Rp 20,6 miliar. Jusuf merasa diperas dan melaporkan masalah tersebut kepada kepolisian.

GCG Islami

Pengakuan Jusuf Hamka yang merasa dizalimi oleh perbankan syariah sesungguhnya bisa menjadi momentum yang baik. Momentum untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh atas tata kelola bank syariah agar lebih manusiawi. Juga agar sesuai dengan tuntutan syariah sebagai elemen yang esensial dan mandatori dari lembaga keuangan dan perbankan yang dijalankan dengan prinsip syariah.

Dalam pandangan saya, bisnis dengan label syariah sangat sensitif. Mudah disalahgunakan oleh pihak tertentu atas nama syariah. Bahkan, jargon syariah bisa menjadi medium empuk di tangan para ”penjual agama” untuk mengeruk keuntungan. Tindakan ini jelas menistakan agama itu sendiri.

Kita tidak ingin keluhuran nilai dan prinsip syariah tercederai oleh oknum yang memanfaatkan tingginya semangat umat Islam melakukan formalisasi syariah dalam bidang ekonomi dan keuangan, namun berujung pada kasus-kasus kriminal. Karena itu, membentengi industri syariah dengan tata kelola perusahaan (good corporate governance/GCG) berbasis nilai-nilai Islam penting untuk dipraktikkan. Misalnya, transparansi pada semua akad/kontrak yang disepakati, berbagi keuntungan/kerugian secara adil dan proporsional, memberikan layanan yang maksimal, menyelesaikan persoalan hukum secara kekeluargaan, serta konsisten menjalankan ketentuan hukum yang digariskan Dewan Pengawas Syariah.

Dengan kata lain, pengelolaan perbankan syariah harus mampu memaksimalkan kemakmuran pemilik, karyawan, nasabah, pemerintah, dan masyarakat. Tata kelola perusahaan Islami merupakan sistem manajemen yang menempatkan pertanggungjawaban spiritualitas dengan prinsip dasar transparan, bertanggung jawab, akuntabilitas, moralitas, dan keandalan sebagai alat ukur yang sifatnya material, sementara yang paling penting dan hakiki adalah sebagai medium ibadah (Nunung Ghoniyah, 2021).

Dalam perbankan syariah, penerapan GCG telah diatur melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 11/33/PBI/2009. PBI ini dikeluarkan karena adanya keinginan dari BI untuk membangun industri perbankan syariah yang sehat dan tangguh. Serta adanya upaya untuk melindungi stakeholder dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pada saat yang sama patuh dan tunduk terhadap ketentuan dan nilai-nilai luhur syariah.

Dalam konteks Indonesia, prinsip syariah yang dimaksud adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasar fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang berada di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kepatuhan syariah ini merupakan manifestasi atas pemenuhan seluruh prinsip syariah dalam wujud karakteristik, integritas, dan kredibilitas. Pendek kata, budaya kepatuhan syariah tecermin dari nilai, perilaku, dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan bank syariah terhadap seluruh ketentuan Bank Indonesia.

Indeks Literasi Rendah

Kita tidak bisa menolak fakta tumbuhnya gairah keagamaan dalam bidang ekonomi dan keuangan syariah (muamalah maliyah) dalam dekade terakhir. Namun, literasi keuangan syariah kita sangat rendah. Itu tecermin dari kata bunga yang disebut Jusuf Hamka pada pembiayaan sindikasi antara pihaknya dan perbankan syariah. Padahal, dalam dunia keuangan dan perbankan syariah tidak dikenal istilah bunga. Yang ada adalah sewa/fee/margin serta bagi hasil dan bagi rugi (profit and loss sharing) antara nasabah dan pihak perbankan syariah.

Dalam keuangan syariah, pinjaman jenis sindikasi tergolong rumit dan kompleks (multiakad) karena tidak hanya mempertimbangkan aspek hukum syariah, tapi juga aspek hukum positif lainnya. Sangat kontras dengan praktik bisnis yang berlaku di perbankan konvensional. Karena itu, penguatan literasi keuangan syariah menjadi kata kunci dalam menggerakkan ekonomi dan keuangan syariah. Sekaligus sarana paling efektif mengurangi mispersepsi dan bahkan misinterpretasi atas konseptualisasi dan operasionalisasi perbankan syariah.

Indeks literasi keuangan syariah kita sangat rendah. Dalam riset terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan masih berada di angka 8,93 persen. Jauh di bawah literasi keuangan konvensional yang mencapai 38,03 persen. Kondisi ini juga diikuti inklusi keuangan syariah yang masih tergolong lemah, yakni berkisar 9,1 persen. Tertinggal jauh dari inklusi nasional yang telah menyentuh 76,10 persen.

Maka, rendahnya literasi dan inklusi keuangan syariah ini menjadi problem serius bagi upaya pengenalan produk dan layanan yang ditawarkan perbankan dan lembaga keuangan syariah lainnya. Utamanya pada istilah akad syariah yang sangat kompleks, asing, dan unik, yang melekat kuat pada keseluruhan operasionalisasi kelembagaannya.

Baca Juga: Perbandingan Kasus Covid-19 di Surabaya Raya Terkini

Sebagai bahan pembenahan dan perbaikan bersama, saya pribadi mendukung nasabah yang bersuara keras berdasar fakta senyatanya sebagai bentuk checks and balances langsung antara pengguna dan pihak perbankan syariah. Tujuannya, industri perbankan syariah kita dapat introspeksi diri dan kembali ke tujuan awal sebagai lembaga intermediasi keuangan berbasis sosial dan komersial sekaligus. (*)


*) Faizi, Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Penulis Buku Pengembangan Produk Perbankan Syariah di Indonesia

By admin