JawaPos.com – Pelonggaran aturan selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 4 yang mengizinkan dine in atau makan di tempat selama 20 menit, direspons positif para pengusaha kuliner di Kota Bengawan. Aturan baru tersebut setidaknya memberikan angin segar. Namun, di sisi lain secara teknis masih membingungkan dalam penerapannya.
“Hitam di atas putih gampang ya menyebut dine in selama 20 menit. Tapi di lapangan, kami pengusaha kuliner diminta menambah time keeper atau seperti apa?” ungkap salah seorang pengusaha kuliner di Kota Bengawan Bagus Cakti seperti dikutip Radar Solo.
Bagus mengaku, dirinya tidak menerapkan batas waktu kunjungan kepada konsumen. Namun dia berupaya mencari alternatif atas implementasi aturan tersebut agar lebih masuk akal dalam hal pengawasan. Yakni, dia hanya benar-benar menerima dine in di area outdoor. Sekaligus memperketat penerapan protokol kesehatan (prokes).
“Untuk dine in di outdoor, kami menyiapkan tempat duduk yang terbatas. Satu meja hanya bisa diisi oleh dua customer saja. Agar social distancing tetap terjaga. Meja tidak boleh digeser, meskipun customer datang ramai-ramai,” bebernya.
Selama membuka layanan dine in, Bagus mewajibkan semua customer tetap memakai masker kecuali saat makan dan minum. Bahkan, dia mengizinkan pegawainya untuk menegur pengunjung jika tidak menggunakan masker.
“Kami juga membatasi jumlah kunjungan. Dari total kapasitas, kami mengurangi menjadi hanya 30 persen saja. Juga memangkas jam operasional. Biasanya buka sampai malam hari, sekarang untuk menghindari potensi kerumunan, hanya sampai sore hari saja,” jelasnya.
Dengan berbagai pembatasan tersebut, Bagus berharap omzetnya kembali naik. Setidaknya di atas 50 persen. Selama masa PPKM darurat omzetnya terjun bebas. Tidak tanggung-tanggung, omzetnya hilang hingga 70 persen.
“Pengusaha kuliner memang harus putar otak di masa seperti ini. Ibaratnya, kalau customer tidak bisa datang ke tempat kami, berarti kami yang harus datang ke customer,” ujarnya.
Kondisi yang sama dialami pengusaha kuliner asal Kota Solo lainnya, Azis Nurarfin. Aturan baru soal boleh dine in selama 20 menit setidaknya bisa membuatnya bernapas lega. Kendati menurutnya, aturan tersebut kurang bisa diimplementasikan. Sekaligus menyulitkan fungsi pengawasan dari pembuat kebijakan.
“Aturan ini bisa jadi melonggarkan dari kebijakan sebelumnya. Tapi bisa jadi tidak memiliki nilai tambah. Mengingat minimnya waktu sehingga tentu membuat customer menjadi kurang nyaman,” sambungnya.
Sampai saat ini, dia masih mempertahankan karyawannya, namun dengan salary yang tidak maksimal. Mengingat omzet bisnis yang belum membaik sampai dengan saat ini.
“Kami tentu mendukung aturan ini dengan mengikuti pemerintah yakni hanya menggunakan area outdoor dan pembatasan kapasitas. Namun, kami sangat berharap pemerintah berkenan untuk mengkaji kembali. Kebijakan ini menjadi implementatif dan tentunya meminimalisasi kerugian pelaku bisnis,” imbuhnya.
Apakah aturan dine in bisa mengembalikan omzet yang sempat anjlok? “Tentu belum, tapi kami tetap berusaha menemukan strategi bisnis lain. Harapan kami dapat meng-cover kegiatan operasional. Hal ini tentu tidak bisa kami lakukan sendiri. Kami perlu dukungan dari pemerintah,” ujarnya.
Berbeda dengan pengusaha kuliner lainnya, Yudhistiro Irsham Saputro. Menurutnya, aturan dine in selama 20 menit ini tidak bisa diterapkan oleh semua pelaku kuliner. Ada beberapa penjual yang proses pembuatan makanannya sangat lama.
“Contohnya penjual nasi goreng. Pembuatannya pakai arang. Juga karena keterbatasan alat. Belum lagi waktu antre yang panjang. Kalau aturan ini diterapkan pasti akan banyak penjual dan pembeli yang kebingungan. Termasuk petugas di lapangan. Untuk memantau 20 menit di tempat, metode apa yang akan digunakan?” paparnya.
Yudhistiro mengusulkan sebaiknya aturan lebih fokus pada penerapan prokes saja. Misalnya, jarak yang harus diterapkan di tempat makan berapa meter. Di luar itu, aparat bisa menertibkan tempat makannya. Menyediakan fasilitas untuk prokes atau tidak. Seperti tempat cuci tangan, handsanitizer, dan pengukur suhu.
“Saya pernah lihat aparat punya form untuk absen fasilitas ini. Nah, ketika patroli aparat bisa melihat penjual kuliner dan pembelinya taat prokes atau tidak. Misalnya pakai masker. Atau tidak membawa anak bayi. Menjaga jarak dan lain-lain,” tandasnya.