JawaPos.com – Komisi Yudisial (KY) menyatakan bakal mengkaji pemotongan hukuman vonis 3,5 tahun penjara kepada terdakwa Djoko Tjandra, dalam kasus suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dan penghapusan daftar pencarian orang (DPO). Pemotongan hukum terhadap Djoko Tjandra ini pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Sebab pada putusan tingkat pertama, Djoko Tjandra divonis dengan hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan. Dia terbukti memberikan suap kepada Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo.
“KY sesuai kewenangannya dalam melakukan anotasi terhadap putusan akan melakukan kajian atas putusan pengadilan,” kata Juru Bicara KY, Miko Ginting dalam keterangannya, Rabu (28/7).
Perkara Djoko Tjandra pada tingkat banding itu diadili oleh Ketua Majelis Hakim Muhammad Yusuf dengan Hakim Anggota Singgih Budi Prakoso, Haryono Rusydi dan Renny Halida Ilham Malik. Alasan telah menyerahkan dana yang ada dalam escrow account atas rekening Bank Bali PT Era Giat Prima sebesar Rp 546.468.544.738, sehingga hukumannya dipotong.
Miko menyampaikan, KY sangat menaruh perhatian terhadap putusan Djoko Tjandra dan beberapa putusan lain, terutama dari pertimbangan akan pentingnya sensitivitas keadilan bagi masyarakat. “Ditambah lagi, hal ini erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terhadap kehormatan hakim dan integritas pengadilan,” tegas Miko.
Miko mengutarakan, KY yang merupakan lembaga pemantau kehakiman sesuai kewenangannya dalam melakukan anotasi terhadap putusan, akan melakukan kajian atas putusan pengadilan. “Anotasi terhadap putusan ini juga dapat diperkuat melalui kajian dari berbagai elemen masyarakat, baik akademisi, peneliti, dan organisasi masyarakat sipil,” tegas Miko.
Dalam putusan tingkat pertama pada PN Tipikor Jakarta, Djoko Tjandra divonis empat tahun dan enam bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia juga dijatuhkan hukuman berupa denda senilai Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan.
Djoko Tjandra terbukti menyuap mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo dan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte. Djoko memberikan suap ke Napoleon senilai SGD 200 ribu dan USD 370 ribu.
Sedangkan Prasetijo, diduga menerima USD 100 ribu dari Djoko Tjandra. Pemberian uang suap itu melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi yang juga terseret dalam perkara ini.
Aliran suap itu diberikan agar nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang (DPO) yang dicatat pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Kedua jenderal polisi itu juga turut terseret dalam kasus ini.
Selain itu, Djoko Tjandra juga diyakini memberikan USD 500 ribu kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari. Pemberian uang itu agar Pinangki mengurus status hukum Djoko Tjandra yang saat itu terjerat hukuman dua tahun pidana penjara dalam kasus hak tagih Bank Bali.
Djoko Tjandra juga diyakini melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya. Jaksa meyakini, ada perjanjian uang senilai USD 10 juta kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
Djoko Tjandra terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) dan (2) KUHP.
Selain itu, terbukti melanggar Pasal 15 juncto Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.