PERNYATAAN pengusaha Jusuf Hamka bahwa dia diperas bank syariah menjadi heboh. Apalagi, frasa yang digunakan Jusuf dalam menilai bank syariah bukan hanya ”memeras”, tapi juga ”kejam”, ”zalim”, dan ”lintah darat”. Jusuf juga menyebut itu bukan ulah oknum karena pembiayaan yang diterima perusahaannya merupakan pembiayaan sindikasi tujuh bank syariah. Karena itu, dia menyebutnya sebagai sindikat.

Lembaga dan tokoh ekonomi syariah pun sangat menyesalkan pernyataan Jusuf. Di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Indonesia Halal Watch (IHW), dan sejumlah tokoh seperti mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah, Ketua Badan Wakaf Indonesia Mohammad Nuh, serta Komisaris BSI Arief Rosyid. Mereka menilai, meski telah minta maaf, pernyataan Jusuf yang sudah menyebar telah merusak citra bank syariah yang sudah dibangun sejak 30 tahun lalu.

Kekecewaan Jusuf Hamka bermula dari permintaannya kepada sindikasi bank untuk menurunkan margin –bukan bunga seperti dikatakan Jusuf– akibat pandemi dari 11 persen menjadi 8 persen. Karena bank tidak bisa menurunkan, pembiayaan PT Citra Marga Lintas Jabar yang merupakan anak usaha PT CMNP Tbk yang dikelolanya itu pun melunasinya. Jusuf sudah mentransfer Rp 800 miliar untuk pelunasan. Bank belum menutup pembiayaan itu, tapi tetap mengenakan margin selama dua bulan dan biaya administrasi. Jusuf pun merasa diperas.

Melihat pernyataannya, Jusuf Hamka kurang memahami pembiayaan bank syariah tersebut. Itu tampak dari istilah bunga yang disebutnya, di mana pada bank syariah tidak menggunakan bunga. Jika benar akadnya murabahah (jual beli) dengan tenor 14 tahun, yang dimaksud bunga itu adalah margin keuntungan bank syariah dari transaksi jual beli. Bunga yang disebutnya 11 persen itu adalah equivalent rate margin yang setara dengan 11 persen anuitas per tahun.

Pembiayaan murabahah hakikatnya adalah jual beli. Bank membeli sesuatu, lalu dijual dengan mengambil keuntungan (margin) tertentu yang besarannya tergantung pada tenor pembiayaan. Akad ini memang harus dijelaskan dengan baik karena ada konsekuensi yang tidak dipahami nasabah. Secara syariah, saat akad terjadi, muncul utang. Dengan begitu, tidak lagi ada pokok dan margin. Sehingga, jika seandainya dilunasi lebih cepat, bank sebenarnya berhak untuk tidak memberikan potongan.

Meski begitu, karena harus bersaing, bank syariah tetap memberikan potongan saat pelunasan dipercepat. Untuk ini, MUI mengeluarkan fatwa nomor 84 di mana bank syariah diperbolehkan melakukan pengakuan margin secara anuitas. Bukan pengakuan margin secara tetap (flat) yang selama ini diterapkan. Dengan penghitungan anuitas, dalam catatan bank syariah akan muncul pokok pembiayaan sebagai dasar dari pelunasan dipercepat. Bank perlu mengakui pendapatan tiap bulan karena harus dibagihasilkan kepada pemilik dana (depositor).

Pada pembiayaan murabahah jangka panjang, bank syariah menghadapi risiko yang sangat besar. Bank tidak bisa meninjau margin saat kondisi ekonomi lagi buruk dan tingkat bunga meningkat. Karena itu, bank harus mengenakan premi risiko sehingga pembiayaan murabahah dengan tenor panjang akan menjadi lebih mahal. Karena itu, sebaiknya bank syariah tidak menggunakan akad murabahah untuk pembiayaan jangka panjang.

Pernyataan Jusuf Hamka di podcast Deddy Corbuzier juga cukup membingungkan. Jika pembiayaan menggunakan murabahah, tidak ada bagi hasil. Bagi hasil hanya untuk pembiayaan dengan akad mudharabah dan musyarakah. Dengan begitu, murabahah tidak terkait dengan keuntungan dan kerugian nasabah. Pernyataan bahwa bank syariah hanya mau enaknya, jika untung dibagi dan jika rugi tidak mau berbagi, sungguh sangat menyesatkan.

Bank Syariah Perlu Introspeksi

Apa pun, kasus Jusuf Hamka ini harus diambil hikmahnya. Bank syariah harus introspeksi bahwa sosialisasi tentang konsep syariah belum berhasil. Akad-akad yang digunakan sering disalahpahami dan menimbulkan persepsi negatif terhadap bank syariah. Berbeda dengan di bank konvensional yang hanya menggunakan bunga, di bank syariah terdapat berbagai akad berbeda yang konsekuensinya kepada nasabah juga berbeda.

Secara umum, pembiayaan pada bank syariah menggunakan akad atau kontrak dengan dua karakter. Pertama adalah akad yang certainty atau dengan pendapatan yang pasti. Di sini ada akad jual beli (bay’) seperti murabahah, salam, dan istishna’. Juga akad berbasis sewa (ijarah), yaitu ijarah, ijarah muntahiya bit-tamlik, musyarakah mutanaqishah, ijarah al-maushufah fi dzimmah, dan sebagainya.

Kedua adalah uncertainty contract. Pada akad ini, pendapatan bank syariah tidak pasti. Inilah yang disebut karakter bank syariah sebagai bank bagi hasil. Akad yang digunakan adalah mudharabah, musyarakah, dan mudharabah musytarakah. Pada bank syariah, mudharabah lebih banyak digunakan bukan pada pembiayaan, melainkan pada funding berupa deposito dan tabungan-giro. Bagi hasilnya pun bukan pada keuntungan, melainkan pada gross profit.

Untuk itu, bank syariah harus melakukan edukasi kepada para nasabah. Saat penandatanganan kontrak, pihak bank harus menjelaskan secara jelas akad yang digunakan, term and condition-nya, konsekuensi kepada nasabah, pelunasan dipercepat, jika terjadi pembiayaan bermasalah, dan sebagainya. Semua sudah diatur oleh OJK dan bank syariah harus comply terhadap semua aturan itu, termasuk kepatuhan syariah.

Baca Juga: Unair Produksi Vaksin Adenovirus, Desainnya seperti AstraZeneca

Harus disadari, nasabah bank syariah itu terdiri dari dua karakter, yaitu nasabah emosional (syariah minded) dan rasional atau swing customer. Nasabah emosional memilih bank syariah karena faktor syariahnya sehingga mementingkan syariah comply. Yang banyak adalah swing customer, di mana mereka ke bank syariah ketika lebih menguntungkan dan berpindah ke bank konvensional jika lebih menjanjikan. Bank syariah harus pintar-pintar mengelola dua karakter nasabah itu jika tak mau ditinggalkan mereka. Wallahu a’lam. (*)


*IMRON MAWARDI, Dosen Ekonomi Syariah FEB Universitas Airlangga dan Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Timur 2018–2021

By admin