Beritaterkini, Badung – Komisi I DPRD Provinsi Bali telah resmi mengeluarkan dan memberikan rekomendasi tegas terhadap PT Stepp Up Solusi Indonesia atas dugaan pelanggaran perizinan pembangunan hotel dan fasilitas lainnya di wilayah Kabupaten Badung, pada Jumat (13/6/2025). Dalam rapat resmi yang disampaikan Ketua Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Budiutama, SH, disebutkan bahwa PT Stepp Up Solusi Indonesia diduga melanggar ketentuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), khususnya terkait batas ketinggian dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan tata ruang Provinsi Bali.
Rekomendasi tersebut lahir dari hasil kajian intensif yang dilakukan Komisi I sebagai bagian dari fungsi pengawasan yang diemban DPRD. Dalam laporan yang diperoleh, ditemukan indikasi kuat bahwa pembangunan hotel oleh PT Stepp Up melanggar Pasal 100 ayat (2) Perda Provinsi Bali No. 2 Tahun 2023, yang dengan jelas membatasi ketinggian bangunan maksimal 15 meter dari permukaan tanah, kecuali untuk fungsi tertentu yang dikecualikan melalui ketentuan perundang-undangan.
Komisi I menegaskan bahwa arsitektur tradisional Bali bukan hanya persoalan estetika, melainkan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Bali. Pengabaian terhadap batasan ketinggian dan pemanfaatan ruang dinilai bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi juga perbuatan melawan hukum yang berdampak serius terhadap keberlangsungan tatanan ruang, keberlanjutan lingkungan, dan nilai-nilai sakral masyarakat adat Bali.
Dalam pandangan Komisi I, pelanggaran ini merupakan bentuk nyata penyimpangan terhadap prinsip keharmonisan antara pembangunan fisik dan kearifan lokal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali. Oleh karena itu, DPRD Provinsi Bali menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap seluruh proses perizinan dan pelaksanaan pembangunan PT Stepp Up Solusi Indonesia.

Dalam salah satu butir yang paling tegas dari delapan rekomendasi resmi, Komisi I DPRD Bali pada butir KEENAM menyatakan pemberhentian total seluruh kegiatan pembangunan hotel dan fasilitas lainnya oleh PT Stepp Up Solusi Indonesia. Ini mencakup penutupan operasional, penghentian aktivitas proyek, serta peninjauan ulang dan pencabutan izin apabila terbukti diperoleh secara tidak sah atau menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku. “Pembangunan yang dilakukan tidak hanya melanggar batas ketinggian, tetapi juga diduga tanpa dasar pengecualian yang sah. Ini mengindikasikan pelanggaran berat terhadap Perda Nomor 2 Tahun 2023 dan regulasi tata ruang lainnya,” tegas Nyoman Budiutama.
Rekomendasi ini juga didasari oleh temuan bahwa PT Stepp Up telah melakukan kegiatan pembangunan di sempadan pantai, reklamasi tanpa izin, serta pemotongan tebing yang mengancam keberlanjutan kawasan hijau. DPRD menyebut bahwa aktivitas perusahaan ini mengganggu keseimbangan ekologis, estetika wilayah, serta tidak sejalan dengan nilai-nilai sekala dan niskala yang menjadi pijakan pembangunan Bali. Adapun rekomendasi DPRD secara keseluruhan terbagi dalam delapan poin utama:
1. Evaluasi menyeluruh oleh dinas terkait terhadap izin dan pelaksanaan pembangunan;
2. Penyelidikan oleh aparat penegak hukum terkait potensi pidana dalam pembangunan;
3. Penghentian sementara seluruh kegiatan pembangunan sampai legalitas dokumen dipastikan;
4. Peningkatan fungsi pengawasan oleh seluruh OPD dengan partisipasi masyarakat dan desa adat;
5. Penyusunan sistem pengawasan digital terpadu untuk mencegah pelanggaran di masa depan;
6. Pemberhentian total dan pencabutan izin, apabila ditemukan pelanggaran hukum yang sah;
7. Penertiban administratif dan pembongkaran oleh Satpol PP jika ditemukan pelanggaran fisik;
8. Penyampaian rekomendasi kepada Gubernur, Polda, Kejati, dan Bupati Badung untuk ditindaklanjuti.

Dalam pernyataan akhir, DPRD Bali kembali menggarisbawahi bahwa pelanggaran ini bukanlah pelanggaran administratif biasa, melainkan perbuatan melawan hukum yang merusak tatanan hukum, lingkungan, serta kesakralan budaya Bali.
Dasar hukum yang dijadikan pijakan dalam penetapan rekomendasi ini mencakup Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023), Undang-Undang Bangunan Gedung, serta sejumlah Peraturan Daerah termasuk Perda RTRW Provinsi Bali. “Ini adalah ujian bagi kita semua dalam menegakkan regulasi yang melindungi identitas dan kelestarian Bali,” pungkas Ketua Komisi I.
Dukungan terhadap tindakan tegas ini juga datang dari kalangan tokoh masyarakat, akademisi, organisasi adat, serta masyarakat sipil, yang menuntut agar semua bentuk pembangunan yang tidak menghormati tata ruang dan nilai adat segera dihentikan. Komisi I DPRD Bali menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas dan memastikan tidak ada lagi pelanggaran serupa di masa depan.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPRD Bali, Dewa Nyoman Rai, SH., mengungkapkan bahwa bangunan-bangunan tersebut tanpa izin resmi. “Harus dilakukan (pembongkaran), bersama Satpol PP. Komunikasinya sangat bagus, Satpol PP juga menunggu dari lembaga DPRD Bali saja dan sekarang adalah waktunya. Hari ini (Jumat) jadwalnya adalah membacakan rekomendasi dan Satpol PP melakukan tindakan pembongkaran,” ujar Dewa Rai.
Ia menegaskan, pembongkaran akan tetap berjalan meski pemilik atau pengelola diberikan waktu jika ingin melakukan pembongkaran mandiri. Namun jika tidak dilakukan, maka akan ditindaklanjuti bahkan sampai ke ranah pengadilan. “Kalau enggak dilakukan, ya kami cek kembali, ada apa ini. Kalau enggak, kita akan bisa panggil lewat pengadilan. Jadi sekarang kan masih ranah Perda, kami tidak mau membawa ini ke ranah hukum nasional,” ucapnya.
Soal potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap tenaga kerja yang terdampak pembongkaran, Dewa Rai menyatakan hal itu menjadi pertimbangan sekunder. Fokus utama tetap pada penegakan aturan tata ruang. “Ya itu soal lain. Nah kalau itu kita pikirkan tetap akan jadi pertimbangan. Namun, yang utama kan dasarnya dahulu. Ini tata ruang loh. Tapi soal tenaga kerja nomor dua itu. Kalau (tenaga kerja) diutamakan, bisa habis nanti Bali,” tegasnya.
Ia menilai bahwa niat baik pengusaha mempekerjakan karyawan tidak bisa dijadikan dalih melanggar hukum. Apalagi bila membangun di atas tanah negara tanpa membayar pajak dan retribusi, serta tanpa izin. “Kita sudah tahu itu (ada PHK ke depannya). Sekarang dari manusianya dong. Sebab, ini tanah negara, bukan tanah pribadi. Nah, kalau bukan tanah saya, ya sudah enggak usah membangun,” katanya. Politisi dengan ciri khas topi koboi ini menyebut bahwa kasus PT Step Up akan menjadi tonggak awal penegakan hukum terhadap bangunan ilegal dan tanpa izin di Bali.

“Soal pembiaran, bisa dibilang iya. Kok selama ini tidak ada reaksi begitu. Terus terang saja, kami di lembaga sibuk, sehingga ketika ada laporan dari masyarakat dan kami turun ke bawah langsung. Ini benar ada faktanya,” ujarnya. “Maka itu, ke depan dari inilah (PT Step Up dan bangunan tanpa izin di Pantai Bingin) mulai. Di mana saja ada perusahaan yang melanggar aturan Perda RTRWP ini kita akan tindak demi ajeg Bali tata ruang,” imbuhnya. Keputusan pembongkaran ini merupakan hasil dari rapat kerja resmi yang dihadiri instansi teknis dan perwakilan pemilik bangunan pada Selasa (10/6/2025), di Ruang Rapat Gabungan Lantai III DPRD Bali. 022/006
Artikel Step Up Ditutup dan Izin Dicabut, DPRD Bali Serahkan Rekomendasi pertama kali tampil pada Berita Terkini.