
Menurut Tafsir, fenomena ini merupakan bentuk kemunduran kultural dalam tradisi umat Islam di Indonesia.
“Saya melihat kartu lebaran sekarang itu tidak lagi mencantumkan ‘Mohon Maaf Lahir, dan Batin’, tidak lagi ada ‘Minnal ‘Aidin Wal Faizin’. Hanya sekadar ‘Selamat Idulfitri’. Ini menunjukkan umat Islam Indonesia seolah kurang percaya diri dengan budaya keagamaan yang telah diwariskan oleh para pendahulu,” ujar Tafsir kepada JPNN.com, Senin (31/3).
Tafsir menegaskan bahwa ucapan tersebut memiliki makna mendalam dalam konteks perayaan Idulfitri.
Ramadan sebagai bulan suci menjadi momen penyucian dosa antara manusia dengan Allah, sementara bulan Syawal menjadi kesempatan untuk membersihkan dosa kepada sesama manusia melalui saling memaafkan.
“Allah belum mengampuni dosa kita selama kita belum bersih kepada sesama. Itulah mengapa setelah Ramadan, kita meminta maaf lahir, dan batin di bulan Syawal,” kata tokoh pluralisme, dan multikultural itu.
Tafsir menyebut budaya halal bihalal juga merupakan bagian dari tradisi yang telah berakar dalam masyarakat Indonesia.
Baginya, halal bihalal bukanlah sekadar ritual keagamaan, tetapi telah menjadi praktik sosial yang bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa memandang agama.
“Salat Id itu ibadah ritual yang hanya dilakukan oleh umat Islam. Tetapi meminta maaf lahir, dan batin serta halal bihalal, itu muamalah duniawi yang bisa dilakukan oleh siapa pun,” kata dosen UIN Walisongo Semarang itu.
Tafsir juga mengingatkan bahwa Idulfitri tidak boleh dimaknai secara berlebihan dalam bentuk perilaku konsumtif, dan hedonisme.
Dia menekankan bahwa perayaan Idulfitri seharusnya tetap berlandaskan keseimbangan antara kebahagiaan dunia dan akhirat.
“Jangan sampai kemeriahan Idulfitri malah menjurus pada kemewahan yang berlebihan atau bahkan maksiat. Kita kembali ke fitrah, merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa,” tuturnya.(wsn/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?