DENPASAR, beritaterkini.co.id – Mega proyek PT Bali Turtle Island Development (BTID) di lahan reklamasi Pulau Serangan, Denpasar yang ditetapkan Pemerintah Pusat sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) nyaris tanpa sorotan. Proyek seluas sekitar 500 hektar dengan investasi mencapai Rp104 triliun itu, kabarnya direncanakan bangun sekolah international, resort, dan pelabuhan marina. Tetapi nyatanya menurut Akademisi Unud yang juga Koordinator Program Studi Doktor Pariwisata Fakultas Pariwisata Unud, Prof.Dr.Drs. I Nyoman Sunarta, M.Si., menuding kehadiran KEK BTID tidak menguntungkan untuk Bali, apalagi orang lokal Bali terutama desa adat tidak akan mendapatkan manfaat apapun.

“Saya pertanyakan investasi boleh besar, terus orang lokal dapat apa? Jangan jadikan Bali tuh hanya objek saja. BTID itu harus hati-hati, saya lihat dia sudah membangun politik, BTID sudah berbeda sekarang tidak lagi berpikir mice pariwisata Bali,” ujarnya ditemui di Denpasar, pada Senin (1/5/2023). Prof. Sunarta yang pernah menjabat Dekan Fakultas Pariwisata Unud periode 2019-2022 ini membeberkan, sejatinya orang lokal di Bali adalah subjek bukan objek, apalagi KEK BTID tersebut ada di wilayah desa adat dan anehnya KEK tersebut tidak ada kontribusi apapun untuk desa adat. Karena itu, Prof. Sunarta pun mempertanyakan KEK BTID tersebut feed back untuk Bali apa?

“Sebab dia (KEK BTID, red) tidak ada kontribusi apapun untuk warga lokal maupun Bali, apalagi masuk ke wilayah KEK tersebut sangat sulit seperti ada yang ditutupi,” sentilnya. Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup Eksekutif Daerah Bali (Walhi Bali) yang biasanya getol dan habis-habisan berjuang menolak proyek reklamasi dan pembangunan yang merusak lingkungan sepertinya “tutup mata” dengan mega proyek BTiD yang sempat berhembus kabar angin akan kembali melakukan pengurukan alias reklamasi lahan di kawasan Pulau Serangan. Sikap Walhi Bali itu, dinilai sangat tidak wajar dan terkesan mengada-ngada, karena seolah-olah selalu tebang pilih menyoroti kasus lingkungan yang cenderung menyeret proyek-proyek tertentu di Bali.

Hal itu ditegaskan oleh Pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ), Komang Gede Subudi yang juga penekun spiritual, karena aktif dan khusus di bidang Pelestarian Situs Ritus tersebut, mengaku sangat menyesalkan sikap Walhi Bali yang selama ini tidak konsisten sebagai penggiat lingkungan dan selalu tebang pilih kasus. Ia menuding banyak proyek yang juga diduga berdampak terhadap lingkungan. Salah satunya, proyek reklamasi pengembangan Pelabuhan Benoa oleh PT Pelindo Regional Bali Nusra, termasuk mega proyek reklamasi perluasan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Bahkan yang lebih anehnya lagi, proyek reklamasi yang sudah nyata-nyata di depan mata dilakukan oleh pihak swasta yang kini diklaim oleh PT Bali Turtle Island Development (BTiD) di kawasan Serangan, Denpasar yang seolah-olah lepas dari sorotan Walhi Bali.

Padahal seperti diketahui, pada tanggal 9 Oktober 2018, pihak BTID sudah resmi melaksanakan ground breaking di wilayah hasil reklamasi Pulau Serangan. Selain itu, selama ini diketahui masyarakat luas, bahwa pulau tersebut adalah hasil reklamasi, dan bahkan reklamasi itu telah memiliki hak guna bangunan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. “Kalau merasa jadi aktivis jangan setengah-setengah. Hanya menyoroti masalah itu (Tersus LNG) dan tidak berkesan baik,” sentil Jro Gede Subudi sapaan akrab Ketua Umum dan Pendiri Badan Independen Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH) itu, saat ditemui di Denpasar, Rabu (8/3/2023), seraya menyebutkan Walhi Bali tidak bijak hanya menyoroti Tersus LNG saja. “Padahal kalau mau komunikasi mari kita komunikasi dan mari kita diskusi dan membicarakan Bali ke arah yang lebih baik lagi,” tandasnya.

Jro Gede Subudi yang juga Ketua dan Pendiri Yayasan Bumi Bali Bagus (YBBB) ini, menyadari setiap menjelang tahun politik saat ini, dipastikan akan banyak muncul persoalan yang sengaja digunakan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Karena itulah, suasana Bali yang selama ini aman dan tetap kondusif harus terus dijaga. “Seharusnya di tahun politik ini, Bali harus dijaga secara bersama-sama. Karena kita tidak lagi berbicara di tatanan teori tapi strategi menjaga tatanan Bali,” katanya. Karena itu, ia meminta masyarakat bijak menilai aktivis mana yang benar-benar menjaga Bali dan peduli dengan Bali. Ia pun memandang ada dugaan upaya terselubung sebelumnya dari oknum Walhi Bali yang sengaja medorong untuk membenturkan pihak Desa Adat Intaran dan Desa Adat Sidakarya.

“Harus hati-hati dengan aktivis yang hanya menyoroti hanya satu tempat. Apalagi ingin membenturkan desa adat. Bahkan, hanya bikin kesan saja tidak boleh. Apalagi beneran membikinkan bentokan. Seharusnya tidak menimbulkan kesan arogan. Bahkan sikap Walhi Bali seolah-olah tidak ada yang tahu tentang lingkungan dari pada pihak lain,” sentil Jro Gede Subudi lagi, yang sebelumnya juga menyentil Walhi Bali yang kurang memberi edukasi dan hanya menggiring masyarakat, khususnya desa adat di Bali untuk melakukan pengerahan massa besar-besaran agar melakukan demo, sehingga disinyalir sebagai upaya terselubung untuk mendapat keuntungan dibalik aksi unjuk rasa tersebut.

“Penggiat lingkungan harus lebih banyak pendampingan dan edukasinya kepada masyarakat. Kritis kepada pemerintah, kelompok, pengusaha alih fungsi lahan dan kepada siapapun perusak lingkungan itu wajib, tapi jangan tebang pilih,” beber seraya menyoroti masih banyak pelanggaran lingkungan yang sudah nyata dan di depan mata, bahkan bisa dilihat dengan mata telanjang namun tidak disentuh oleh Walhi Bali. Menurutnya sangat janggal, karena oknum Walhi sebagai penggiat lingkungan dan mengatasnamakan organisasi besar yang berjuang menyelamatkan lingkungan, namun tidak pernah muncul batang hidungnya ketika pelanggaran lingkungan sudah marak terjadi.

“Masih banyak tebing, jurang, bukit dan pinggir hutan dirusak oleh oknum. Kegiatan tambang ilegal, alih fungsi lahan produktif masih marak di lapangan, tapi tim kami tidak pernah ketemu dengan penggiat lingkungan Walhi Bali. Tapi di media kita sering baca statementnya,” ungkap salah satu pimpinan penekun spiritual dan kerohanian nusantara yang juga Presiden Direktur PT Payogan Multi Nasional tersebut, sembari berharap kepada seluruh penggiat lingkungan, khususnya yang bergerak di Bali, agar bisa bekerja profesional dan mengedepankan komunikasi untuk menjaga kelestarian lingkungan di Bali. “Kami berharap Walhi dan semua penggiat lingkungan yang ada di Bali, mari kita jaga kelestarian lingkungan Bali ini dengan mengedepankan komunikasi aktif dengan semua pihak, tanpa harus langsung saling menyalahkan,” pungkasnya.

Seperti diketahui, Direktur Eksekutif WALHI Bali, Made Krisna Dinata, S.Pd., alias Bokis mengaku memiliki keterbatasan, ketika ditanya terkait proyek reklamasi Pelindo dengan mata telajang sudah jelas diketahui sangat banyak menerabas hutan mangrove. Ia berkata sudah ikut berteriak, bahkan Gubernur Bali pun turut angkat bicara dan membuat konfrensi pers. WALHI Bali di kala itu, juga bersengketa informasi dengan Pelindo yang melakukan reklamasi, sehingga 17 hektar hutan mangrove mati. “Jadi kan tidak serta merta dilimpahkan LSM (WALHI, red) yang memiliki keterbatasan ini. Di mana alam Bali ini merupakan tanggung jawab bersama terlebih lagi pemerintah, dan pemerintah bagaimana melihat hal tersebut? Pemerintah juga dalam bekerja dibiayai oleh pajak dan banyak sumber daya, seharusnya pertanyaan ini ditanya ke Gubernur Bali,” sentilnya. 021/002

Artikel Investasi Rp104 Triliun, KEK BTID Tak Untungkan Bali pertama kali tampil pada Berita Terkini.

By admin