JawaPos.com – Bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) telah menekan saham bank secara global. Para investor tentu khawatir runtuhnya bank yang mendanai startup itu bakal memicu krisis keuangan yang lebih luas. Meski, pemerintah Amerika Serikat (AS) telah menjamin simpanan para deposan.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, kondisi kebangkrutan SVB menjadi pelajaran. Bahwa kenaikan suku bunga yang terjadi secara serentak di berbagai negara bisa menimbulkan kenaikan risiko perbankan yang cukup serius. Sehingga perbankan nasional perlu hati-hati menyusun strategi, terutama terkait manajemen risiko.

Menurut dia, efek SVB sejauh ini cenderung terkait dengan pendanaan startup. Karena saat era dana murah atau quantitative easing di AS, banyak perusahaan rintisan yang mendapat suntikan permodalan lewat bank tersebut. Dikhawatirkan masalah yang ada saat ini akan membuat suntikan modal baru ke startup terganggu.

Modal ventura dan investor keuangan kakap di ekosistem startup tengah berhati-hati dan selektif dalam melakukan pendanaan. Terutama startup dengan proyeksi rugi jangka panjang. Imbasnya, tuntutan pendanaan makin terfokus pada mengejar arus pendapatan stabil dan cashflow dibanding mengejar valuasi.

“Kondisi ini akan memperpanjang winter startup. Efek lainnya adalah efisiensi besar-besaran di startup yang secara langsung dan tidak langsung terkait pendanaan dari SVB Bank dan modal ventura afiliasinya,” kata Bhima kepada Jawa Pos, Selasa (14/3).

Makanya, dia mendorong Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan stress test terkait. Baik terkait dampak SVB terhadap aliran pinjaman, modal, dan investasi terhadap perbankan dalam negeri. Belajar dari kasus Bank Century, investasi yang bermasalah di AS dapat menjalar ke likuiditas perbankan Indonesia. “Sejauh ini semoga tidak ada dampak sistemik ke bank lokal,” ucap lulusan University Of Bradford itu.

Di sisi lain, OJK menilai penutupan Silicon Valley Bank (SVB) oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) AS pada 10 Maret lalu tidak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia. Sejalan dengan, kondisi perbankan yang kuat dan stabil. “Penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line, maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB,” jelas Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae.

Selain itu, bank-bank di tanah air tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan teknologi startup maupun kripto. Berbeda dengan SVB dan perbankan di AS. “Oleh karena itu, OJK mengharapkan agar masyarakat dan Industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat,” imbuhnya.

Indonesia setelah krisis keuangan 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum dan penguatan tata kelola, serta perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien dan stabil. Tercermin dari kinerja Industri perbankan yang terjaga dan solid. Bahkan, tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global yang selama ini berlangsung.

Saat ini, kinerja likuiditas AL/NCD dan AL/DPK berada di atas threshold. Masing-masing sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen. Jauh diatas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.

Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional. Komposisi dana pihak ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat. Sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Begitu pula, risiko kredit, risiko pasar, permodalan, dan profitabilitas masih tumbuh positif.

“Selain itu, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori Bank Dalam Resolusi. Yakni bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan,” kata Dian.

OJK berkomitmen untuk terus melakukan berbagai langkah kebijakan kolaboratif dan sinergi dengan BI, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Baik secara langsung maupun melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mengantisipasi dampak dan tekanan global yang mungkin terjadi.

Dian akan terus meningkatkan pemantauan terhadap berbagai perkembangan yang terjadi secara global dan implikasinya terhadap perbankan Indonesia. Juga memastikan penerapan manajemen risiko dan tata kelola bank yang baik dalam setiap aktivitas pengelolaan portofolio aset produktif dan pendanaan. Serta, memitigasi risiko konsentrasi yang berdampak terhadap kinerja keuangan bank.

“OJK juga meminta perbankan untuk senantiasa melakukan langkah-langkah strategis antara lain meningkatkan fungsi maupun peran Asset and Liability Committee dalam melakukan pengelolaan aset dan kewajiban, mengevaluasi kecukupan pencadangan risiko, melakukan stress test yang komprehensif serta mengkaji dan mengkinikan recovery dan resolution plan secara berkala,” tandasnya.

Dalam rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) 2023, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk berhasil mencetak laba bersih secara konsolidasi menembus Rp 41,2 triliun sepanjang 2022. Tumbuh 46,9 persen secara year-on-year (YoY). Total DPK bank berkode emiten BMRI itu tumbuh positif 15,46 persen YoY. Dari Rp 1.291,2 triliun di akhir 2021 menjadi Rp 1.490,8 triliun di akhir 2022.

Pertumbuhan tersebut ditopang oleh peningkatan dana giro serta tabungan yang naik masing-masing 31,2 persen dan 13,5 persen secara tahunan. Rasio CASA Bank Mandiri secara bank only di akhir tahun lalu mencapai 77,64 persen. Melesat 365 basis poin (bps) melampaui rata-rata industri perbankan.

Pencapaian tersebut turut didukung oleh optimalisasi fungsi intermediasi perseroan yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang positif. Tercatat hingga akhir 2022, kredit secara konsolidasi perseroan mampu tumbuh positif sebesar 14,48% YoY menjadi Rp 1.202,2 triliun. Sedangkan, pertumbuhan kredit secara industri sebesar 11,35 persen.

Bila dirinci berdasarkan segmennya, pembiayaan Bank Mandiri didominasi oleh kredit korporasi yang mencapai Rp 414,1 triliun. Tumbuh 11,8 persen dari periode tahun sebelumnya sebanyak Rp 370,2 triliun. Atas pertumbuhan bisnis yang impresif itu, pemegang saham sepakat menetapkan 60 persen dari laba bersih konsolidasi 2022 atau sekitar Rp 24,7 triliun sebagai dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham (dividen payout ratio). Dari nilai tersebut, besaran dividen per lembar saham atau dividen per share Bank Mandiri yakni mencapai kisaran Rp 529,34.

Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi menjelaskan, dari nilai tersebut dividen kepada negara Republik Indonesia atas kepemilikan sebesar 52 persen saham atau senilai Rp 12,84 triliun akan disetorkan kepada Rekening Kas Umum Negara. “Sementara itu, 40 persen dari laba bersih konsolidasi tahun lalu atau sebesar Rp 16,46 triliun akan dialokasikan sebagai laba ditahan,” ungkapnya.

Dia memastikan setelah pembagian dividen, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) Bank Mandiri sampai dengan akhir 2023 diproyeksikan tetap terjaga di level optimal.

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) Group sukses mencetak laba bersih sebesar Rp 51,4 triliun pada akhir tahun lalu. Jumlah tersebut tumbuh 67,15 persen secara year-on-year (YoY). BRI juga mampu mencatatkan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) dan kredit mikro naik double digit.

Tercatat, DPK Hingga akhir triwulan IV 2022 tumbuh 14,85 persen YoY menjadi Rp1.307,88 triliun. Kenaikan CASA sebesar 21,46 persen YoY menjadi pendorong utama pertumbuhan DPK. Saat ini proporsi CASA BRI tercatat 66,70 persen.

By admin