JawaPos.com – Sejak Kamis (2/3), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan telah mencopot Eko Darmanto (ED) dari jabatannya. Sebelumnya, ED merupakan Kepala Kantor Bea dan Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pencopotan itu adalah buntut dari aksi pamer harta yang dilakukannya.

Kegaduhan yang ada di lingkungan Kemenkeu belakangan nyatanya berimbas pada para pegawai di dalamnya. Terutama di DJBC dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dampak yang paling dirasakan yakni terkait beban mental yang juga harus ditanggung para pegawai itu. Hal itu tentu dapat dimaklumi, tekanan publik amat besar. Tentunya agar kasus ini bisa terang benderang.
Amalia (bukan nama sebenarnya), salah seorang pegawai DJBC, turut merasakan dampak itu.

“Berpengaruh sekali ke semangat kerja. Jadi ikut kepikiran,’’ ujarnya kepada Jawa Pos, Minggu (5/3).
Dia menceritakan, efek domino muncul sejak adanya awal kasus kasus penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo (MDS) kepada David Ozora.

Pencopotan ayah MDS yakni Rafael Alun Trisambodo (RAT) dari jabatannya turut membuat atensi publik amat besar pada instansi Kemenkeu secara umum.
Ditambah lagi beberapa hari kemudian ED juga turut dicopot dari jabatannya. Sejak kasus ED ramai diberitakan, Amalia menyebut bahwa para atasannya yang ada di lingkungan pejabat eselon turut mengalami serangkaian pemeriksaan.

Hal itu bertujuan untuk memastikan para pegawai DJBC bisa bekerja sesuai dengan integritas. ‘’Setau saya banyak yang dipanggil ke kantor pusat DJBC di Rawamangun,’’ imbuh dia.

Namun, ibu satu orang anak itu mengapresiasi kebijakan dan spirit bersih-bersih yang saat ini digencarkan di seluruh direktorat Kemenkeu. Amalia amat menaruh harapan agar instansi di tempatnya bekerja itu bisa tetap solid dan mengalami berbagai kemajuan.

“Tapi sebetulnya malah ada rasa bersyukur juga. Artinya memang harus ada bersih-bersih seperti yang dilakukan bu Menkeu Sri Mulyani saat ini. Kinerja bisa lebih ketat juga. Berharap juga semoga dampaknya tidak berlarut-larut,’’ jelas perempuan 27 tahun itu.

Nina (bukan nama sebenarnya), pegawai DJP, menuturkan hal senada. Perempuan yang bekerja di DJP sejak empat tahun lalu itu menceritakan, jauh sebelum adanya kasus RAT, ia beberapa kali mendapatkan kejadian yang kurang nyaman.

“Atensi publik memang sudah nggak terlalu baik terutama kepada citra ‘pegawai pajak’ ataupun secara institusi. Ditambah lagi ada kasus RAT. Tapi ya mau bagaimana lagi, sudah jadi risiko pekerjaan,’’ ujarnya kepada Jawa Pos.

Padahal, lanjut Nina, bekerja menjadi pegawai di lingkungan DJP bukanlah perkara mudah. Nina menceritakan, sebelum menjadi pegawai DJP, dulunya ia menempuh studi di Politeknik Keuangan Negara STAN (PKN STAN).

Sebagai sekolah kedinasan di bawah Kemenkeu dan bersifat ikatan dinas, kuliah di PKN STAN tidak dipungut biaya atau gratis. Tetapi, ia harus mampu menjamin seluruh nilainya dalam skor yang memuaskan.

Dengan beban yang berat itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa para mahasiswa PKN STAN pasti merupakan siswa-siswa pilihan dengan nilai yang memuaskan.

“Nggak mudah juga dulu bisa masuk STAN. Padahal perjuangan kami berat juga. Pas ada kasus ini jadi sedih juga,’’ kata perempuan yang lulus dari STAN pada 2018 lalu itu.

Sebelum ada kegaduhan RAT, Nina merasakan bahwa DJP berusaha keras membangun kinerja penuh integritas dan citra baik di masyarakat. Meski begitu, ada saja komentar miring yang ia terima.

Apalagi, Nina merupakan Asisten Penyuluh Pajak. Sehari-hari, ia berkewajiban untuk melakukan penyuluhan perpajakan.

“Beberapa kali ada abang ojek online yang bertanya aku kerja di mana. Ya jujur kadang takut mengakui bekerja di DJP karena takut dengan stigma negatifnya, tapi ya begitulah. Caraku menyikapinya sekarang lebih ke menerima bahwa ini memang risiko pekerjaan,’’ tuturnya.

By admin