INISIATIF global untuk mengantisipasi perubahan iklim terjadi sejak 1980-an. Pada Juni 1992 dilaksanakan KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, yang menguatkan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC). Sebelumnya, UNFCCC dihasilkan dari Intergovernmental Negotiating Committee pada Mei 1992 di New York dan telah diratifikasi oleh 196 negara.

Dalam perkembangannya, tugas UNFCCC adalah pembentukan inventaris gas rumah kaca (GRK) nasional yang berisi emisi dan pengurangan GRK oleh setiap negara penanda tangan. Inventaris itu untuk menentukan tingkat suhu yang diperlukan agar negara-negara Aneks I Protokol Kyoto bisa berkomitmen mengurangi emisi GRK. Inventaris harus rutin dimutakhirkan. Protokol Kyoto adalah amandemen terhadap UNFCCC pada 1997 yang berisi mekanisme penurunan emisi GRK oleh negara maju, yakni: (1) implementasi bersama, (2) perdagangan emisi, dan (3) mekanisme pembangunan bersih.

Protokol Kyoto berlaku hingga 2012 dan pada pertemuan di Doha, Qatar, 2012, komitmen pada Protokol Kyoto diperpanjang hingga 2020. Sayangnya, tidak semua negara maju berkomitmen terhadap Protokol Kyoto, termasuk AS. Itu terungkap pada UNFCCC di Bonn, Jerman, Juni 2014, di mana hanya 11 negara yang meratifikasi. Di Eropa sendiri hanya Norwegia yang meratifikasi.

Komitmen Indonesia

Pada April 2016, menteri lingkungan hidup dan kehutanan (LHK) mewakili RI menandatangani Paris Agreement. Poin utama kesepakatan tersebut, pertama, menjaga ambang batas suhu di bawah 2 derajat Celsius dan menekan hingga 1,49 derajat Celsius di atas suhu bumi pada masa praindustri. Kedua, meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi GRK tanpa mengancam produksi pangan. Ketiga, membuat aliran finansial yang konsisten demi tercapainya pembangunan rendah emisi GRK.

Ratifikasi RI terhadap Paris Agreement dituangkan melalui UU No 16 Tahun 2016. Itu menjadi upaya mencegah kenaikan suhu rata-rata 0,5–3,92˚C pada 2100, kenaikan air laut 35–40 cm pada 2050 mengacu baseline tahun 2000, dan kenaikan air laut diperkirakan mencapai 175 cm pada 2100.

Atas komitmen Paris Agreement dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN 2019–2024), pemerintah menargetkan penurunan GRK 26 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2020 serta 29 persen pada 2030.

Untuk mencapai target ini, banyak yang harus dikerjakan. Setidaknya, pemerintah dan pelaku bisnis serta masyarakat (1) harus mempertahankan tutupan hutan primer seluas 43 juta ha serta total tutupan hutan nasional seluas 94 juta ha; (2) terlaksananya reforestasi seluas 2 juta ha dan restorasi ekosistem gambut seluas 1,5 juta ha; (3) timbulan sampah domestik berkurang 30 persen dan tingkat kebocoran sampah ke laut berkurang hingga 70 persen; (4) pemulihan lahan pascatambang; (5) kepatuhan terhadap aturan RTRW, moratorium gambut, hutan lindung, dan hutan primer semakin meningkat; (6) proporsi penggunaan sumber energi baru terbarukan mencapai 20 persen dari bauran energi nasional; (7) berkurangnya rasio kerugian ekonomi akibat dampak bencana dan bahaya perubahan iklim menjadi sebesar 0,3 persen terhadap PDB.

Instrumen Fiskal

Untuk mencapai target RPJMN tersebut, pemerintah memerlukan dukungan kebijakan fiskal dan anggaran. Saya berpandangan, pemerintah, terutama Kemenkeu, segera memberlakukan kebijakan cukai terhadap penggunaan plastik dan Kementerian Perindustrian mendorong kebijakan produk industri yang rendah plastik serta teknologi pengolahan limbah plastik. Tujuannya, mengurangi sampah plastik.

Hampir sepertiga belanja negara masuk belanja transfer ke daerah. Saya kira Kemenkeu perlu memberikan addressing khusus untuk climate budget spending di daerah. Pada rapat kerja tahun sidang Agustus ini, Badan Anggaran DPR juga akan meminta laporan atas penggunaan anggaran pada Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF). Kita akan mengevaluasi realisasi dan dampak penggunaan anggaran dari berbagai hibah internasional dan APBN untuk program aksi perubahan iklim, khususnya dalam menjaga kawasan tutupan hutan 94 juta ha dan konservasi laut 28,1 juta ha pada 2024.

Menkeu selaku ketua KKSK diharapkan menginisiasi skema green financing bersama OJK dan Bank Indonesia. Green financing akan mendorong transformasi industri ekstraktif seperti tambang untuk mematuhi aturan lingkungan hidup sehingga tidak ada ratusan lubang tambang sebagaimana di Kalimantan. Green financing juga dapat menyasar perusahaan perkebunan yang membuka lahan hutan menjadi monokultur dan merusak keanekaragaman hayati.

Kemenkeu dan Kemen ESDM juga dapat memberikan insentif fiskal berupa keringanan tarif pajak, termasuk pembebasan bea masuk terhadap seluruh penopang energi baru terbarukan (EBT) yang menargetkan komposisi 23 persen total penggunaan energi pada 2025. Saya kira pengurangan PPh 5 persen per tahun dan 30 persen dari total investasi untuk EBT perlu dinaikkan menjadi 10 persen per tahun dan 45 persen dari total investasi. Perlu ada insentif pembebasan PPh dan PPN bagi investasi EBT di atas Rp 500 miliar selama 10 tahun sejak dimulainya investasi. Langkah ini akan mendorong percepatan industri dan BUMN masuk ke EBT.

Saya berharap Kementerian LHK seiring dengan pemberlakuan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja lebih serius, khususnya di bidang lingkungan hidup. UU Cipta Kerja yang menggeser pendekatan pidana kurungan menjadi denda dapat menjadi langkah hukum baru yang diharapkan mendorong kepatuhan hukum lingkungan.

Terakhir, perlu dorongan kebijakan anggaran pada APBN yang prokomitmen dalam Traktat Paris. Sebab, perubahan iklim adalah ancaman nyata. Munculnya penyakit menular seperti Covid-19 merupakan konsekuensi kita dalam memperlakukan bumi. Kita tidak tahu ke depan muncul berbagai virus apa lagi jika kita tidak ramah terhadap bumi. (*)


*) M.H. SAID ABDULLAH, Ketua Badan Anggaran DPR

By admin